Bila saya harus bercerita tentang kota ini, ahhh … rasanya seperti ada setangkup haru dalam rindu yang penuh selaksa makna, persis seperti ungkapannya Kla Project dalam salah satu masterpiece-nya. Betapa tidak, mulai dari alasan yang membawa saya kesana hingga mengapa saya harus pergi dari sana, semuanya penuh dengan cerita yang sarat makna. Kalau boleh dikata disanalah terjadi klimaks atas seluruh perjalanan hidup saya dalam pencarian jati diri…
Ahh Jayapura … tapi sudahlah, enough is enough. Cukup sudah dengan segala memori biru dalam benak saya setiap kali mendengar nama kota ini disebut. Lebih baik saya bercerita tentangnya dari sisi lain saja. Yang jauh dari semua kenangan itu.
Berposisi di punggung Pulau Irian, sebuah pulau besar berbentuk nyaris seperti burung, demikianlah letak Jayapura ibukota provinsi Papua ini. Berjarak perjalanan udara kurang lebih 3 jam nonstop dari Makassar atau perjalanan laut hampir seminggu, kota ini benar-benar eksotis. Pemandangan perbukitan yang berpadu dengan lautan ke arah samudera, subhanallah indahnya. Sungguh, andai saja Jayapura ini tidak penuh dengan intrik politik baik dalam maupun luar negeri, kota elok yang identik dengan cendrawasih ini boleh dibilang sempurna.
Bila kita melakukan perjalanan kesana menggunakan pesawat maka pemandangan pertama yang akan disuguhkan kota cantik ini adalah hamparan Danau Sentani yang luas membentang. Jadi saran saya jika ini adalah perjalanan pertamamu, pastikan kawan-kawan mendapat window-seat di pesawat.
Menyusuri sepanjang jalan utama menuju pusat kota jayapura, tak henti-henti kita akan dicekoki dengan nuansa alami yang benar-benar menyegarkan pandangan mata. Nutrisi ampuh untuk segala jenis kepenatan yang jarang kita temukan di kota-kota besar lain. Danau, bukit, laut, bukit lagi, laut lagi, begitu seterusnya. Jarang kita temukan wilayah yang benar-benar datar disana sehingga tak perlu heran bila pemukiman penduduk pun lazim di daerah perbukitan dengan lingkungan yang ocean view, keren kan?! Dan (mungkin) dikarenakan lanskap yang berbukit-bukit inilah sehingga penamaan pembagian wilayah pemukiman di kota Jayapura diistilahkan seperti tingkatan-tingkatan pada kapal laut, mulai dari dok I pusat kota hingga dok IX.
Dengan kondisi yang seperti ini, setiap hari walau hanya sekedar naik taksi (sebutan untuk angkutan umum disana) dengan rute : rumah – pusat kota – rumah saja sudah serasa rekreasi. Saya sering melakukan itu. Oh ya satu hal yang berbeda dari taksi ini dengan angkutan umum yang beroperasi di wilayah lain di Indonesia, disana penumpangnya diangkut tidak dengan posisi duduk berhadapan tetapi tempat duduk asli bawaan mobil jenis carry minibus yang menghadap ke depan. Ada juga biskota yang menempuh rute sedikit lebih panjang yaitu Jayapura – Entrop – Abepura. Kalau kawan sedang di Jayapura cobalah naiki biskota ini bila benar-benar ingin merasakan sensasi menyatu dengan penduduk lokal. Rugi kalau tidak coba, he he he.
Jayapura dan musim
Satu hal yang khas dan cukup berbeda dibandingkan wilayah lain di Indonesia adalah soal musim. Jika pada umumnya wilayah di Indonesia mengalami dua musim yaitu penghujan dan kemarau, Jayapura tidak mengalami itu. Tidak ada musim tertentu disana. Cuacanya suka-suka. Kadang seminggu penuh bermandikan limpahan cahaya matahari seminggu kemudian seluruh kota dicurahi tetesan air langit. Begitu terus berulang. Dan saya sangat menyukai cuaca selang-seling seperti ini. Belum sempat mengeluh akan panasnya cuaca, hujan sudah menari-nari turun. Belum sempat stress akibat jemuran tak kering, matahari sudah tertawa-tawa di langit sana.
Jayapura dan malaria
Kalau hanya boleh menyebut satu hal yang menjadi momok paling menakutkan di Jayapura saya yakin sebagian besar orang akan memilih : m a l a r i a. Bukan OPM, lha wong OPM saja takut sama malaria, ha ha ha. Sungguh, kota Jayapura sangat identik dengan malaria. Bukan menakuti tapi memang kenyataannya seperti itu. Jadi wajar saja jika di hampir seluruh apotik menyediakan jasa cek darah untuk kasus malaria. Semua yang tinggal disana akrab dengannya. Tapi akrab bukan berarti lantas harus merasakannya. Buktinya selama saya disana Alhamdulillah tidak pernah kena malaria. Teman-teman seperantauan saya juga tidak. Jadi semuanya sebenarnya tergantung pada masing-masing kita untuk menjaga kondisi fisik agar selalu prima. So, jangan mau ditakut-takuti orang dengan malarianya Jayapura ya.
Jayapura dan pinang
Kawan tahu buah pinang? Itu lho buah pohon palem yang berbentuk bulat lonjong kecil-kecil. Yang salah satu khasiatnya adalah untuk menguatkan gigi dan mempunyai efek penenang. Nah, di Jayapura ini mengunyah pinang adalah kebiasaan favorit sehari-hari yang tak bisa dipisahkan dari hampir seluruh penduduk lokal, tua, muda, pria, wanita bahkan anak-anak. Maka jangan heran dimana-mana pedagang pinang bertebaran mulai dari pasar, pusat pertokoan, kampus hingga bandara, semua ada. Sepertinya dagangan paling laris disana ya buah pinang ini. Sayang seribu sayang kunyahan pinang ini menghasilkan output berwarna merah sehingga ketika bercampur dengan saliva dan dibuang hiiyyy warnanya merah seperti darah. Dan sayangnya lagi beberapa oknum kadang belum menyadari pentingnya menjaga kebersihan dan keindahan lingkungan jadi tak jarang kita akan menemukan cipratan air ludah buangan pinang dimana-mana. Benar-benar sayang. Berkaitan dengan kebiasaan buruk ini jangan heran bila disana akan banyak kita temui tulisan ‘dilarang meludah pinang’ di tempat-tempat umum, he he he. Unik dan hanya ada disana.
Jayapura dan matoa
Ada satu jenis buah khas Papua namanya matoa. Bentuknya bulat oval dengan ukuran lebih besar dari lengkeng. Kulit buah tebal berwarna hijau atau coklat kemerahan. Biji buahnya besar kontras dengan daging buah yang tipis. Tapi rasanya manis dan harum, khas matoa. Bila sedang berada di Jayapura dan sedang musim buah matoa jangan lewatkan kesempatan untuk mencicipi buah hutan ini. Harga per kilonya cukup mahal, tapi… ya beli saja, memangnya apa sih yang murah di Jayapura?
Jayapura dan Koteka
Membicarakan tentang Jayapura tentunya belum afdol bila tidak menyinggung soal koteka. Tentunya jangan berharap bertemu orang yang masih berkoteka ketika di Jayapura. Memangnya ini jaman primitif, om? Masyarakat Jayapura pun sudah canggih dong, koteka tinggal kenangan. Tapi bila masih keukeuh ingin punya koteka sebagai souvenir maka kawan bisa mencarinya di pasar tradisional di daerah Hamadi. Tapi daripada menjadikan koteka sebagai cinderamata lebih baik mencari batik papua atau tas noken atau mungkin emas papua saja yang lebih abadi. Jangan lupa saya titip segram dua gram ya, belum sempat punya soalnya. Maunyaaaa ha ha ha.
Jayapura dan Matrik
Setelah soal musim, malaria, pinang dan koteka ada satu hal terakhir yang bisa saya ceritakan pada catatan ini yaitu tentang matrik. Adalah hal yang harus kita biasakan untuk diterima dan dijalani tanpa protes jika berada di Jayapura yaitu mati listrik, istilah saya matrik. Setahu saya tidak ada sumber air disana untuk dijadikan PLTA (entahlah mungkin suatu hari Danau Sentani bisa diberdayakan) atau pun sumber-sumber lain, terus terang saya pribadi kurang paham. Hanya diesel yang menjadi sumber listrik di Jayapura. Sehingga hasilnya matrik menjadi menu wajib sehari-hari. Ah tapi itu sekitar tiga tahun lalu saat saya masih tinggal disana. Entah kalau sekarang mungkin keadaan jauh lebih baik karena sudah ditemukan sumber tenaga baru untuk membangkitkan listrik, PLTBP mungkin? Pembangkit Listrik Tenaga Buah Pinang? ;p
Fiuffhhh lega rasanya bisa menuangkan kenangan saya akan kota ini ke dalam tulisan. Meski masih banyak yang bisa saya ceritakan namun kurang lebih seperti itulah gambarannya. Sesekali berkunjunglah kesana, tak perlu terlalu risau dengan pemberitaan media yang menjadikan kesan seolah Jayapura itu mencekam. Itu hanya intrik politik saja. Tanyakan saja pada yang berdomisili disana, pada dasarnya semua aman-aman saja. Saya yakin kok apapun judul agamanya, sukunya tidak ada yang ingin hidup dalam rasa takut, semua ingin aman, damai dan sejahtera. Bahkan saya yakin banyak orang disana justru mengetahui banyak kejadian dari berita televisi bukan karena mengalami. Saya pribadi selama kurang lebih 5 tahun disana Alhamdulillah aman-aman saja. Jadi tunggu apa lagi? Kaka datang sendiri kesana sudah e …
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H