Sabtu, 4 Januari 2024
1 Yoh 3:7-10; Yoh 1:35-42
Sudah tiga hari Gereja Katolik menampilkan sosok seorang nabi dalam bacaan liturgi harian. Sosok nabi tersebut adalah Yohanes Pembaptis. Sosok ini sangat karismatis. Yohanes Pembaptis sendiri menyebut dirinya sebagai suara yang berseru-seru di padang gurun untuk meluruskan jalan bagi Tuhan (Lih. Yoh 1:23).
Kisah tentang Yohanes Pembaptis dalam teks Injil pada hari ini memang patut diapresiasi. Salah satu sisi yang hendak diapresiasi adalah kerendahan hatinya. Memang sudah sejak awal Yohanes Pembaptis menampilkan sisi tersebut, terlebih ketika dia mengatakan dirinya bukanlah seorang mesias yang dijanjikan, bukan pula Elia, bukan pula nabi yang akan datang (Yoh 1:20-21).
Demikian dalam bacaan Injil hari ini, Yohanes Pembaptis kembali menunjukkan sikap kerendahan hatinya, yakni ketika dua muridnya pergi meninggalkan dirinya untuk mengikuti Yesus. Yang menarik adalah sikap Yohanes Pembaptis tampak biasa-biasa saja ketika dua muridnya pergi mengikuti Yesus. Dia tidak merasa rugi dengan kepergian dua muridnya. Keduanya bahkan langsung mengikuti ke mana Yesus pergi, dan tinggal bersama dengan Yesus.
Bukankah dia sendiri mengatakan bahwa dirinya adalah suara yang berseru-seru di padang gurun untuk menyiapkan jalan Tuhan? Demikian pula dua muridnya pergi meninggalkan dia karena dirinya sudah mempersiapkan jalan menuju Yesus.
Kata kunci dari kepergian dua murid Yohanes Pembaptis ini adalah kata-kata Yohanes Pembaptis sendiri, yaitu "Lihatlah Anak Domba Allah!". Ada kesan bahwa Yohanes Pembaptis adalah telah menjadi "sekolah" yang baik bagi para murid Yesus. Jadi, di dalam "sekolah" tersebut, Yohanes Pembaptis memperkenalkan Yesus sebagai "Anak Domba Allah". Itulah alasan mengapa dua murid Yohanes Pembaptis memutuskan untuk mengikuti Yesus.
Sikap kerendahan hati menjadi bahan pembelajaran yang baik untuk kita. Penulis merasa, refleksi atas sikat Yohanes Pembaptis ini sangat cocok menjadi bahan pembelajaran bagi mereka yang kita sebut sebagai pengkotbah. Renungan, homili, ataupun kotbah yang disampaikan mesti mengarahkan umat Allah kepada Allah sendiri. Seorang pengkotbah mesti menjadi jembatan yang baik antara Allah dengan umat. Atau dengan kata lain, seorang pengkotbah harus mempersiapkan jalan bagi Tuhan agar melalui jalan itu, Allah bisa bertemu dengan umat-Nya, dan umat-Nya bisa bertemu dengan Allah.
Dengan bermodalkan Sabda yang direnungkan, yang diwartakannya adalah Allah sendiri, bukan dirinya sendiri. Terserah apa pun metodenya dalam berkotbah, dari mana saja materi yang dia ambil, Allah harus tetap pada posisi pertama pewartaannya, sedangkan dirinya sendiri berada di posisi seribu satu dan seterusnya. Kerendahan hati seorang pengkotbah terlihat ketika dirinya tidak lagi tampak di saat dia mewartakan Allah! Karena memang, Allah harus semakin besar, dan aku harus semakin kecil (Lih. Yoh 3:30).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H