Pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab, sebab tidak ada indikator atau standar penilaian untuk menilai apakah suatu bahasa itu rusak atau tidak. Bahasa hanya dapat muncul atau hilang, tergantung pada penuturnya. Sehingga bahasa anak Jaksel adalah bagian dari proses bahasa.
Barangkali yang bisa kita jawab di sini adalah mengapa bahasa anak Jaksel ini bisa muncul. Hemat saya, selain memang karena bahasa itu sifatnya dinamis, kemunculan bahasa anak Jaksel adalah bagian dari cara orang-orang masa kini untuk terlihat istimewa. Fenomena ini adalah bagian dari suatu proses sosial.
Sebenarnya, penggunaan bahasa anak Jaksel adalah agar seorang penutur dapat terlihat keren. Mayoritas pengguna bahasa anak Jaksel adalah anak muda yang sedang mencari jati diri. Mereka menggunakan bahasa sedemikian rupa agar terlihat keren dan bisa diterima dan diakui dalam suatu kelompok sosial.
Inilah yang oleh Pierre Bourdieu disebut dengan kapital budaya. Kapital budaya berupa cara berbicara sangat mempengaruhi kedudukan sosial seseorang dalam suatu kelompok sosial. Ketika seorang berbicara menggunakan bahasa anak Jaksel, dia sedang mendongkrak dirinya dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dalam arti ini, dia ingin terlihat keren di mata orang-orang sekitarnya.
Era media sosial adalah momen di mana segala sesuatu berubah, termasuk cara manusia berbahasa. Seperti saat di mana handphone muncul, cara kita menggunakan bahasa berubah. Demikian ketika muncul bahasa anak Jaksel, cara menggunakan bahasa pun berubah, yakni dengan mencampur-adukan bahasa Indonesia dengan bahasa lain.
Di masa depan, entah cara berbahasa seperti apalagi yang akan muncul. Selama bahasa memiliki sifat dinamis, di situ pula selalu ada perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H