Sewaktu masih menginjak masa remaja, bapak saya pernah menceritakan kisah hidupnya di masa lalu. Kehidupannya begitu keras. Tetapi beruntung, bapak saya memiliki orangtua yang baik yang selalu mengajarkan yang baik kepada anak-anaknya.
Suatu ketika, bapak saya hendak melanjutkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi. Di zaman dulu, untuk level di kampung bapak saya, tamat SMA saja sudah sangat membanggakan keluarga, apalagi bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, itu sangat luar biasa.
Melihat hal itu, tentu tetangga banyak yang kepanasan. "Mengapa mereka yang miskin itu bisa sekolah sampai perguruan tinggi?". Begitulah pertanyaan yang sering keluarga bapak saya dengar.
Karena tidak mau anaknya mengalami hal buruk karena kebencian dan ketidaksukaan tetangga, bapak dari bapak saya mengucapkan go'et atau peribahasa ini (sedikit penjelasan mengenai apa itu go'et, bisa dilihat pada tulisan saya sebelumnya di sini):
Kudut Langkas Haeng Ntala, Uwa Haeng Wulang
Go'et ini memiliki arti harafiah, yakni supaya hidup setinggi bintang, menikmati hidup sampai di bulan. Go'et ini memang paling bagus untuk anak-anak yang akan dan sedang menempuh pendidikan di berbagai tingkatan, entah yang ada maupun di luar Manggarai.
Adapun maksud dari go'et ini adalah seorang anak diingatkan untuk bersekolah dan menunut ilmu, rajin dan tekun belajar, tidak bermalas-malasan. Dengan begitu, mereka tetap focus dalam meraih cita-cita.
Pada waktu itu, beberapa hari sebelum berangkat ke tanah orang, bapak saya begitu termotivasi. Dia merasa sangat cocok dengan peribahasa ini dan akan selalu berpegang teguh pada mimpinya. Dan di samping itu, mengangkat derajat keluarga.
Ya, selain pendidikan yang dikejarnya itu berguna bagi si anak, apa yang dipelajari kelak bisa sangat membantu status sosial orangtua di kampung. Orangtua di Manggarai memang berlomba-lomba untuk menyekolahkan anak-anak mereka, agar anak-anak jangan bernasib seperti orangtuanya. Anak  harus lebih dari orangtua.
Tetapi, ada motif lain mengapa orangtua di Manggarai menyekolahkan anak-anak mereka, yakni sebagai bentuk antisipasi  orangtua agar terhindar dari panggilan tetangga-tetangga mereka dengan sebutan, mendi. Untuk orang Manggarai, istilah ini sangat buruk, karena mengandung arti orang yang disuruh-suruh alias budak!