Saat Tidak Ada Tempat untuk Bercerita
Terkadang, kekuatan sejati bukanlah tentang menahan semuanya sendiri, tetapi tentang keberanian untuk berbagi dan menerima bantuan.
Gak ada hal yang lebih sakit daripada mengusap air mata sendiri saat kita sadar bahwa gak ada seorang pun yang bisa kita ajak berbagi tentang apa yang sedang kita rasakan. Perasaan ini sering datang tanpa aba-aba, menyerang di malam hari ketika semua orang tertidur atau di tengah keramaian saat kita merasa asing di antara orang-orang yang seharusnya dekat. Â
Ada saat-saat di mana kita merasa dunia begitu luas, tapi pada saat yang sama terasa begitu sempit. Kita dikelilingi oleh banyak orang keluarga, teman, bahkan media sosial yang seolah-olah menghubungkan kita dengan siapa saja tapi tetap saja, ada sesuatu yang kosong di dalam hati. Ketidakmampuan untuk berbicara, untuk bercerita, dan untuk melepaskan apa yang kita pendam menjadi beban yang semakin hari semakin berat. Â
Sebagian dari kita mungkin merasa malu atau takut untuk membuka diri. Takut dianggap lemah, takut dihakimi, atau bahkan takut diabaikan. Maka, kita memilih diam. Kita pikir, dengan diam dan menyimpan semuanya sendiri, luka itu akan sembuh dengan sendirinya. Tapi kenyataannya, luka yang dibiarkan justru bisa semakin dalam. Â
Dalam masyarakat kita, masih ada stigma bahwa berbicara tentang perasaan adalah tanda kelemahan. Padahal, justru dengan berbicara dan berbagi, kita bisa menemukan kekuatan. Namun, ketika kita gak bisa menemukan ruang yang aman untuk itu, kita akhirnya hanya bisa memeluk diri sendiri dan mencoba bertahan sekuat tenaga. Â
Banyak orang mengalami hal ini, tapi mereka tidak menyadarinya. Mereka terbiasa menjadi kuat di hadapan orang lain, terbiasa menunjukkan senyuman meskipun hatinya menangis. Mereka terus berjalan, menyimpan beban yang semakin lama semakin menumpuk, berharap suatu hari nanti segalanya akan membaik dengan sendirinya. Â
Namun, kenyataannya, masalah yang tidak pernah diungkapkan bisa berubah menjadi bom waktu. Kita mungkin merasa baik-baik saja dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang, perasaan terpendam itu bisa berdampak buruk pada kesehatan mental kita. Depresi, kecemasan, dan perasaan terisolasi bisa menjadi teman yang sulit untuk dilepaskan. Â
Terkadang, kita juga takut merepotkan orang lain. Kita berpikir bahwa masalah kita tidak sepenting masalah orang lain. "Ah, mereka pasti punya beban sendiri, aku gak mau nambah," begitu alasan yang sering terlintas di kepala. Padahal, berbagi bukan hanya soal meminta solusi, tapi juga tentang mencari pengertian dan dukungan. Â
Ada kalanya kita juga merasa bahwa orang lain tidak akan benar-benar mengerti apa yang kita rasakan. Kita pernah mencoba bercerita, tapi tanggapan yang kita dapatkan justru membuat kita merasa lebih buruk. "Kamu lebay," "Kuat dong," atau "Orang lain lebih susah dari kamu," adalah beberapa respons yang malah membuat kita semakin menutup diri. Â
Pada akhirnya, kita kembali pada diri sendiri, mengusap air mata diam-diam, menenangkan diri semampunya. Namun, sampai kapan kita harus terus seperti ini? Sampai kapan kita harus berpura-pura kuat padahal di dalam hati kita rapuh? Â