Hegemoni Teknologi
Dominasi Terselubung dalam Pendidikan
Saatnya dunia pendidikan melawan arus hegemoni teknologi dengan menciptakan ekosistem pembelajaran yang berbasis budaya lokal dan relevan dengan kebutuhan bangsa. Kedaulatan pendidikan adalah kunci untuk memastikan bahwa teknologi tidak menghapus identitas kita, tetapi memperkuatnya. Dengan langkah ini, pendidikan tidak hanya menjadi alat untuk mencerdaskan, tetapi juga untuk melindungi masa depan generasi penerus dari pengaruh global yang tidak sehat
Teknologi harus menjadi alat pembebasan, bukan penjara tak terlihat yang mengekang kreativitas dan identitas kita
Bermula dari membaca artikel berjudul "Hegemoni Media Sosial: Nasib Pers di Persimpangan Jalan" yang ditulis oleh Custos Logos, perhatian saya langsung tertuju pada kata hegemoni. Rasa penasaran mendorong saya untuk memahami lebih jauh, bukan untuk mencerna keseluruhan isi artikel, tetapi untuk menemukan bagaimana kata tersebut digunakan. Dalam konteks artikel itu, hegemoni digambarkan sebagai dominasi terselubung yang memengaruhi opini dan perilaku publik, terutama melalui media sosial. Pemikiran ini membawa saya pada refleksi lebih luas tentang bagaimana hegemoni, terutama melalui kemajuan teknologi, juga berdampak besar pada dunia pendidikan.
Di era digital ini, teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan. Platform pembelajaran digital seperti Google Classroom, Microsoft Teams, dan Zoom memberikan banyak kemudahan, tetapi juga menciptakan ketergantungan besar terhadap teknologi global. Data siswa dan guru sering kali disimpan di server milik perusahaan asing, memberikan kendali besar kepada mereka atas informasi yang seharusnya menjadi milik kita. Hegemoni ini tidak hanya membatasi kedaulatan digital, tetapi juga memperlihatkan bagaimana teknologi dapat menjadi alat dominasi baru yang merugikan pihak-pihak yang bergantung padanya.
Selain itu, standar kurikulum global yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga internasional turut memperkuat hegemoni ini. Materi pembelajaran yang berorientasi global sering kali mengesampingkan kearifan lokal, menggantinya dengan nilai-nilai dominan yang dianggap "modern". Anak-anak diajarkan untuk mengejar standar global, yang sering kali tidak relevan dengan konteks budaya mereka. Akibatnya, identitas lokal mulai tergeser, dan siswa menjadi semakin jauh dari akar budaya mereka sendiri.
Tidak hanya siswa, guru pun terpengaruh oleh hegemoni teknologi. Pelatihan guru kini sering kali berfokus pada penguasaan perangkat digital, seolah-olah teknologi adalah solusi tunggal untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal, pendekatan berbasis kearifan lokal, yang berpotensi besar mendukung pembelajaran kontekstual, kerap dianggap kuno. Teknologi seharusnya menjadi alat bantu yang memperkaya proses belajar-mengajar, bukan menggantikan nilai-nilai esensial dalam pendidikan.
Kemajuan teknologi yang tidak diiringi dengan sikap kritis justru akan memperkuat dominasi global dalam dunia pendidikan. Seperti halnya media sosial yang mendominasi arus informasi, teknologi pendidikan juga bisa menjadi alat untuk mengontrol cara berpikir dan bertindak generasi muda. Hegemoni ini, meski tidak terlihat secara langsung, perlahan menggeser kedaulatan pendidikan kita menuju ketergantungan pada teknologi asing.
Untuk mengatasi ancaman ini, dunia pendidikan perlu mengambil langkah strategis. Sekolah harus mulai menciptakan ekosistem digital yang mendukung kedaulatan lokal, baik dalam bentuk kurikulum berbasis budaya maupun platform pembelajaran yang dirancang sesuai kebutuhan bangsa. Literasi digital harus mencakup pemahaman kritis terhadap teknologi, sehingga siswa dan guru tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga mampu menilai dampak dari teknologi yang mereka gunakan.
Dengan langkah ini, pendidikan tidak hanya akan menjadi alat untuk mencerdaskan bangsa, tetapi juga benteng untuk melindungi identitas budaya dan menjaga kedaulatan kita dari dominasi terselubung. Teknologi seharusnya membebaskan, bukan menjadi alat kolonialisme baru yang mempersempit ruang kreativitas dan keberagaman. Jika tidak, kita hanya akan menjadi pion dalam permainan hegemoni global yang mengancam masa depan generasi mendatang.
Kesimpulan
Hegemoni teknologi dalam pendidikan adalah tantangan besar yang membutuhkan kesadaran dan langkah kritis dari semua pihak. Ketergantungan pada platform global dan standar kurikulum internasional telah menciptakan ancaman terselubung terhadap kedaulatan pendidikan kita, mengikis identitas budaya dan menempatkan masa depan generasi muda dalam kendali pihak asing. Teknologi memang menawarkan peluang besar, tetapi tanpa kebijakan yang tepat, ia dapat menjadi alat dominasi yang merugikan.