M I M P I
Antara Harapan, Realitas, dan Ilusi
Jangan takut bermimpi besar, tetapi ingatlah bahwa setiap langkah kecil yang konsisten adalah jembatan menuju impianmu. Jangan hanya menunggu keajaiban; jadilah bagian dari keajaiban itu dengan kerja keras dan ketekunan.
Mimpi adalah awal dari segalanya, tetapi tindakanlah yang akan menjadikannya kenyataan
Mimpi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki arti sebagai gambaran dalam angan-angan saat tidur, cita-cita yang sulit dicapai, atau sesuatu yang tidak nyata. Secara ilmiah, mimpi saat tidur terjadi dalam fase REM (Rapid Eye Movement) ketika otak aktif memproses emosi dan ingatan. Sementara itu, dalam kehidupan sehari-hari, mimpi kerap digunakan sebagai metafora untuk cita-cita atau tujuan yang ingin diwujudkan. Ungkapan seperti "mimpilah setinggi langit" mencerminkan aspirasi besar, sedangkan "kejarlah impianmu" menggambarkan semangat untuk bertindak demi mencapai harapan tersebut.
Namun, apakah mimpi selalu menjadi pendorong positif? Beberapa pihak berpendapat bahwa terlalu banyak bermimpi justru dapat menjadi jebakan. Ketika mimpi tidak dibarengi dengan langkah nyata, ia berubah menjadi ilusi kosong yang hanya menguras energi tanpa hasil. Bahkan, dalam masyarakat yang terlalu memuja mimpi, muncul risiko mengecilkan realitas. Orang-orang yang memiliki cita-cita besar tetapi gagal meraihnya sering kali merasa terpuruk, kehilangan arah, atau bahkan dicap sebagai "pemimpi tanpa tindakan."
Di sisi lain, ada pula pandangan kontroversial bahwa mendorong orang untuk "mimpi setinggi langit" adalah bentuk penipuan emosional. Tidak semua orang memiliki akses atau kesempatan yang sama untuk mewujudkan impian mereka. Dalam masyarakat yang masih terpolarisasi oleh ketimpangan ekonomi, ungkapan ini kadang dianggap sebagai "pembius kolektif," sebuah cara untuk mengalihkan perhatian dari kenyataan hidup yang keras. Apa gunanya bermimpi menjadi dokter, ilmuwan, atau pengusaha sukses jika sistem tidak memberi peluang yang setara bagi semua orang?
Ironisnya, bagi sebagian pihak, mimpi justru digunakan sebagai alat manipulasi sosial. Masyarakat digiring untuk mengejar "impian kolektif" yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir orang. Dalam konteks kapitalisme, misalnya, orang diajak untuk bermimpi memiliki kekayaan besar, padahal realitasnya, sebagian besar kekayaan dunia hanya terkonsentrasi di tangan elit tertentu. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah mimpi benar-benar milik kita, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh sistem?
Maka, penting untuk bersikap kritis terhadap makna mimpi. Mimpi memang bisa menjadi motivasi yang menginspirasi, tetapi tanpa pemahaman yang realistis dan tindakan nyata, ia berpotensi menjadi perangkap. Daripada hanya bermimpi setinggi langit, mungkin lebih bijak jika kita belajar memahami batasan, mengoptimalkan peluang yang ada, dan menciptakan langkah-langkah kecil yang membawa kita menuju tujuan nyata. Sebab, pada akhirnya, bukan mimpi itu sendiri yang penting, melainkan keberanian dan usaha untuk mewujudkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H