Keadilan tanah bukan hanya soal kepemilikan, tetapi soal memastikan setiap orang memiliki tempat untuk hidup, tumbuh, dan bermimpi
Bank Tanah, yang digadang-gadang sebagai solusi untuk pemerataan kepemilikan dan penggunaan lahan, justru berpotensi memperkuat dominasi kelompok elite dan menambah kesenjangan sosial ekonomi. Dalam praktiknya, implementasi Bank Tanah seringkali melibatkan kepentingan korporasi besar, yang lebih diuntungkan dalam akses terhadap tanah strategis dibanding masyarakat kecil. Â
Alih-alih memperjuangkan keadilan, Bank Tanah bisa menjadi alat untuk merasionalisasi penguasaan lahan oleh segelintir pihak dengan dalih efisiensi dan pembangunan. Proses pembebasan lahan untuk kepentingan infrastruktur, kawasan industri, atau investasi sering mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil. Akibatnya, Bank Tanah menjadi instrumen legal untuk menggusur kelompok rentan dan mempercepat urbanisasi yang tidak terkendali. Â
Ketimpangan ini semakin nyata ketika tanah-tanah yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat kecil malah dijadikan aset investasi oleh korporasi besar. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pengelola yang netral, seringkali tunduk pada tekanan investor asing maupun domestik yang mengejar keuntungan maksimal. Pola ini menciptakan ketidakadilan struktural, di mana masyarakat kecil terusir dari tanah mereka tanpa mendapatkan ganti rugi atau manfaat yang layak. Â
Lebih jauh lagi, Bank Tanah sepertinya juga rentan terhadap korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dengan konsentrasi pengelolaan tanah di bawah satu lembaga, peluang manipulasi data dan praktik tidak transparan semakin besar. Alih-alih menjadi mekanisme pemerataan, Bank Tanah justru dapat menjadi arena baru untuk permainan politik dan ekonomi oleh elite. Ini bertentangan dengan cita-cita awal pembentukannya sebagai alat untuk membangun ekonomi yang inklusif dan adil. Â
Selain itu, konsep Bank Tanah juga kurang memberikan perhatian pada keberlanjutan lingkungan. Pemanfaatan lahan secara besar-besaran untuk kebutuhan komersial seringkali mengabaikan dampak ekologis, seperti hilangnya kawasan hijau, kerusakan habitat, dan perubahan iklim. Dalam jangka panjang, kebijakan ini tidak hanya merugikan masyarakat kecil tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem yang menjadi penyangga kehidupan kita. Â
Jika tujuannya adalah keadilan ekonomi, seharusnya fokus diarahkan pada redistribusi tanah melalui reformasi agraria sejati, bukan pada mekanisme yang cenderung berpihak pada pasar dan investor. Bank Tanah berisiko menjadi simbol neoliberalisme dalam pengelolaan sumber daya alam, yang bertentangan dengan semangat ekonomi berkeadilan. Â
Dalam konteks ini, apakah Bank Tanah benar-benar solusi, atau hanya jalan pintas untuk mengakomodasi kapitalisme? Ataukah ini hanya wajah baru dari kolonialisme tanah yang selama ini menyisakan luka bagi masyarakat Indonesia?Â
Menurut saya, dalam hal ini pemerintah harus memastikan bahwa pengelolaan Bank Tanah dilakukan dengan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada kelompok masyarakat rentan. Perlu adanya kebijakan yang menjamin akses masyarakat kecil terhadap lahan secara adil, serta melibatkan komunitas lokal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H