Mohon tunggu...
Abi Wihan
Abi Wihan Mohon Tunggu... Guru - Teacher

A Great Teacher is Inspiring

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Capek

29 Desember 2024   15:19 Diperbarui: 29 Desember 2024   15:29 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

CAPEK 

Kesuksesan sejati tidak diukur dari seberapa capek kita, tetapi seberapa bijaksana kita dalam menjaga keseimbangan hidup. Beristirahatlah, karena tubuh yang sehat adalah dasar dari segala pencapaian besar

Siapa yang tidak pernah merasa capek? Semua orang, dari tua hingga muda, laki-laki atau perempuan, anak-anak hingga dewasa, pernah bergumul dengan rasa ini. Bahkan, mereka yang dianggap "tidak punya pekerjaan" atau pengangguran sekalipun tidak lepas dari perasaan capek. Namun, mari kita tanyakan kembali: apakah capek itu wajar atau justru hasil dari konstruksi sosial yang kita wariskan turun-temurun?

Dalam masyarakat modern, capek sering kali dianggap sebagai bukti kerja keras. Ada anggapan bahwa semakin lelah seseorang, semakin bernilai dirinya. Mereka yang tidur larut karena lembur, bangun pagi untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, atau terus berlari mengejar karir dianggap sebagai pahlawan. Sebaliknya, mereka yang terlihat santai, tidak berkeringat, atau menikmati waktu senggang sering kali dipandang sebelah mata.

Pertanyaannya, mengapa kita memuliakan kelelahan? Mengapa capek menjadi lambang keberhasilan? Bukankah ini bentuk penindasan halus dari sistem yang menuntut kita terus produktif, tanpa jeda? Ironisnya, bahkan pengangguran pun merasakan capek karena mereka terus berhadapan dengan tekanan sosial dan stigma.

Namun, kita perlu memahami bahwa capek tidak hanya terjadi karena aktivitas fisik atau tekanan pekerjaan. Capek juga dapat berasal dari beban mental, seperti stres, kecemasan, atau tuntutan emosional. Untuk itu, penting bagi kita untuk mengenali sumber kelelahan yang kita rasakan. Jika capek fisik dapat diatasi dengan istirahat, maka capek mental membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam, seperti berbicara dengan seseorang yang dipercaya, meditasi, atau aktivitas relaksasi lainnya.

Selain itu, kita harus menyadari bahwa tubuh dan pikiran memiliki batasnya. Memaksakan diri untuk terus bekerja tanpa henti bukanlah tanda kekuatan, melainkan sinyal bahwa kita sedang mengabaikan kebutuhan diri. Menciptakan waktu untuk beristirahat atau bahkan sekadar berdiam diri adalah langkah penting dalam menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Istirahat bukan berarti malas, melainkan sebuah bentuk penghormatan kepada diri sendiri.

Yang terakhir, kita perlu mengedukasi diri dan orang di sekitar kita untuk mengubah cara pandang terhadap produktivitas. Produktivitas tidak selalu berarti bekerja tanpa henti. Sebaliknya, produktivitas yang sehat melibatkan kemampuan untuk bekerja dengan cerdas, memprioritaskan tugas, dan memastikan ada keseimbangan antara waktu kerja dan waktu istirahat. Mari kita mulai melihat capek bukan sebagai lambang keberhasilan, tetapi sebagai tanda bahwa tubuh dan pikiran membutuhkan perhatian lebih. Karena pada akhirnya, menjaga kesehatan diri adalah investasi terbaik untuk keberlanjutan hidup kita.

Kelelahan bukanlah tanda keberhasilan, tetapi tanda bahwa kita perlu memberi diri kita waktu untuk pulih dan bangkit lebih kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun