Mohon tunggu...
Mario Manalu
Mario Manalu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Merangkai kata seideal fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Lemahnya Argumentasi Hukum Seorang Klonel

15 Agustus 2013   08:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:17 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Kompas edisi cetak hari ini memuat berita persidangan kasus cebongan dengan agenda pembacaan pledoi tersangka. Dalam pledoi tersebut, sebagaimana diberitakan kompas , ketua Tim Penasehat Hukum Terdakwa, Klonel Rokhmat membantah dakwaan oditur militer bahwa  terdawa telah melakukan pembunuhan berencana. Alasannya, Oditer militer selama ini tidak memberikan argumentasi hukum sejak kapan, di mana dan siapa yang merencanakan tindak pidana tersebut (lihat hlm. 4). Tanpa menjadi seorang sarjana hukum atau pemerhati hukum, saya sendiri ketika membaca berita tersebut serta merta merasa bahwa pembelaan tersebut terlalu gampangan atau tidak berkelas sama sekali. Orang yang paling awam tentang hukum sekalipun akan sulit menerima jika pembunuhan di cebongan tidak dikualifikasikan "tindak pidana berencana". Senjata api yang digunakan terdakwa tidak mungkin didapat tanpa sengaja di TKP ketika terjadi perkelahian dengan korban, sebagaimana sering terjadi dalam pembunuhan"Tidak terencana". Pasti senjata itu dibawa pelaku ke TKP dan dengan maksud tertentu. Dengan penjelasan sederhana ini saja unsur "berencana" rasanya sudah dapat dibuktikan dengan menyakinkan tanpa perlu menambah keterangan tentang kedatangan pelaku dalam rombongan, cara mereka masuk ke TKP dan seterusnya. Kalau kita mencermati pembelaan yang dibacakan Kolonel tersebut akan segera muncul kesan bahwa dalam benak Sang Klonel dan Tim Penasihat hukum terdakwa, pengertian "tindak pidana berencana" dalam KUHP dapat disamakan dengan pengertian perencanaan strategi perang menyangkut siapa, dimana, kapan dan bagaimana. Hal itu tergambar jelas ketika sang Klonel membacakan: ".....tidak ada pembagian tugas yang dilakukan para terdakwa. Kalau memang terencana, tidak mungkin hanya saksi I Ikhmawan Suprapto yang ditempatkan di luar lapas. Semestinya untuk pengamanan di luar, minimal harus ada empat dan mobil harus dihidupkan agar mereka cepat meninggalkan lapas....." Unsur "terencana" dalam hukum menurut pemahaman saya bukan menyangkut detil-detil perencanaan melainkan menyakut niat untuk melakukan tindak pidana sudah ada sebelumnya. Ada tidaknya niat tersebut dapat dibuktikan dari kesiapan pelaku melakukan tindakannya, misalnya apakah alat yang digunakannya sudah tersedia sebelumnya (dibawa sendiri ke TKP atau ditemukan secara kebetulan di TKP), apakah pelaku datang ke TKP dalam keadaan siap melakukan aksinya, dst. Untuk menguatkan argumentasinya bahwa tindak pidana dalam kasus cebonagan "tidak terencana" sang Klonel buat penjelasan yang merumuskan "pembunuhan tidak terencana" dengan menggunakan dalil pembelaan diri. Namun penjelasan tersebut semakin menegaskan betapa dangkalnya logika hukum dalam penjelasan tersebut dan malah jadi terkesan seperti dagelan. Menurut sang Klonel, terdakwa Ucok Tigor Simbolon melakukan penembakan karena adanya pelemparan kruk (alat bantu jalan) saat hendak masuk sel A5. Inilah yang membuat tedakwa secara refleks mengamankan diri dengan melepas tembakan. Kita tahu bahwa korban dalam kasus cebongan adalah 4 orang, bukan hanya satu. Apakah ke-empat orang tersebut tertembak secara refleks? Di dalam lapas tersebut ada banyak tahan lain, selain ke-empat korban, munkinkah tembakan refleks bisa tepat mengenai hanya empat orang tersebut yang kebetulan sama-sama terlibat dalam kasus di Hugo's Cafe ? Penjelasan tersebut jelas-jelas mengandung kesalahan fatal yang dalam pelajaran logika disebut contradictio interminis. Tanpa berusaha membela atau mendiskreditkan siapapun atau pihak manapun, saya amat prihatin membaca argementasi hukum yang disampaikan dalam pledoi tersebut. Saya bersimpati dengan kesetiaan para terdakwa pada korps mereka yang merasa tersakiti atas peristiwa di Hugo Cafe yang ditenggarai sebagai pemicu kasus ini, dan saya juga sudah gerah dengan aksi-aksi premanisme seperti yang terjadi di Hugo Cafe. Namun menurut saya, kebenaran tetaplah harus kita junjung tinggi selama kita masih memiliki akal sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun