Sumber-sumber hukum Islam terdiri atas dua macam, yaitu sumber-sumber primer dan sumber-sumber sekunder. Sumber-sumber primer meliputi Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias. Sumber-sumber sekunder merupakan tambahan terhadap empat sumber primer di atas. Di antaranya yang paling penting adalah istihsan, istislah atau maslahah mursalah, dan ‘urf atau adat. Tulisan ini akan membahas tentang istihsan dan istislah.
Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti ‘menganggap sesuatu baik’, sedangkan menurut istilah adalah berpalingnya seorang mujtahid dari penggunaan kias yang jalli (nyata) kepada kias yang khafi (samar) atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsna’i (pengecualian) karena dalil yang menurut logika membenarkannya.
Contoh penerapan istihsan adalah dalam kasus berikut. Menurut pandangan syarak, barang-barang yang ditakar dan ditimbang tidak boleh dipinjamkan dengan pengembalian yang lebih banyak dari yang dipinjam karena termasuk riba fadhl. Begitu juga tidak boleh menjual barang tersebut dengan cara ditukar dengan barang sejenis tanpa ada keseimbangan. Akan tetapi, dengan berpegang kepada istihsan, fukaha Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan meminjam beberapa potong roti dari tetangga meskipun timbangannya berbeda-beda dengan perbedaan yang wajar karena ada unsur darurat dan manusia memerlukannya. Di samping itu, pikiran melakukan riba dan mengambil keuntungan pun dapat terhindarkan karena perbedaannya relatif kecil menurut kebiasaan.
Contoh lain dari istihsan adalah pendapat ‘Umar bin Khattab dan sebagian sahabat, mazhab Maliki, serta mazhab Syafi‘i yang menyatakan bahwa saudara kandung berserikat dengan saudara seibu dalam bagiannya, yaitu sepertiga. Hal ini karena mereka adalah anak-anak dari satu ibu sehingga saudara kandung menyertai mereka dalam sebab dari sisi ibu. ‘Umar bin Khattab menggunakan metode istihsan yang dapat membawa kepada keadilan dan menolak kesempitan.
Istislah
Istislah adalah hukum yang ditetapkan karena tuntutan maslahat yang tidak didukung maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi sesuai dengan maqashid syari‘ah al-‘ammah (tujuan umum syariat). Penetapan istislah berlandaskan pada maslahah mursalah, yaitu setiap maslahat yang masuk dalam maqasid syari‘ah tetapi tidak ditemukan nash syarak yang memperhatikan ataupun mengabaikan bentuk dan macamnya.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh ijtihad istislah di antaranya meliputi hukum-hukum yang berkaitan dengan urusan administrasi yang diatur untuk kemaslahatan sosial, seperti pajak bagi yang mampu untuk kepentingan pekerjaan umum, misalnya pembangunan jembatan, pembangunan rumah sakit, sertifikat tanah, sensus penduduk, dan berbagai macam jaminan sosial.
Semua kemaslahatan hidup tersebut dan semisalnya, wajib di antara anggota masyarakat untuk tolong-menolong sesuai dengan kemampuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt.,
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى ۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.” (QS Al-Maidah: 2)