tokoh yang bernama Suman Hasibuan (selanjutnya disebut Suman atau Suman Hs.). Siapakah Suman Hs. itu? Banyak gelar yang dapat disematkan pada dirinya. Ia adalah seorang sastrawan, bahasawan, budayawan, pendidik, dan bahkan pejuang. Patutlah namanya diabadikan sebagai nama perpustakaan di Pekanbaru yang merupakan perpustakaan terbesar di Riau. Sosoknya yang bersahaja perlu diteladan oleh generasi masa kini, tidak hanya oleh masyarakat Riau, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia secara umum.
Tanggal 8 Mei 1999 merupakan hari wafatnya seorangSebagai seorang sastrawan, Suman Hs. dikenal dengan julukan pelopor cerita pendek dan cerita-cerita detektif Indonesia. Karya-karyanya berupa cerita pendek yang berbau detektif itu terhimpun dalam buku Kawan Bergelut. Selain itu, ia juga menulis kumpulan cerpen yang berjudul Teman Duduk dan roman yang berjudul Kasih Tak Terlarai.
Sebagaimana kebanyakan sastrawan Angkatan Pujangga Baru lainnya, gaya bahasa yang ia gunakan berbeda dengan gaya bahasa yang biasa digunakan pengarang-pengarang sebelumnya. Ia menggunakan gaya romantik yang jenaka dan tidak terpaku pada tema adat yang lazim pada masa itu. Meskipun demikian, ia tidak melupakan ciri khas tempatan dalam karangan-karangannya. Karangan-karangannya itu tetap memperlihatkan estetika Melayu dan budaya tanah asalnya, seperti penggunaan jampi atau serapah yang dikenal oleh masyarakat nelayan dalam cerpen "Cik Mat".
Dalam pengantar Kawan Bergelut, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa Suman telah menjadikan sifat bahasa Melayu yang telah lama membeku dan kaku kembali cair, lemas mengalir berliku-liku, serta ringan beralun-alun. Hal itu tecermin dengan tidak digunakannya kata-kata seperti alkisah dan maka yang pada masa sebelumnya sering muncul di awal kalimat. Suman memilih untuk menggunakan gaya bahasa yang lebih sederhana dan tidak menggunakan majas secara lewah.
Hasan Junus, seorang sastrawan keturunan Raja Ali Haji, menyebut Suman sebagai "Bentara Bahasa" (1998: 305). Selama bertahun-tahun Suman Hs. mengisi "Selok-Belok Bahasa Indonesia" di RRI Pekanbaru. Ya, selok-belok (dengan e taling) sebagaimana lafal bahasa Melayu tinggi, bukan seluk-beluk (dengan e pepet) yang merupakan lafal bahasa Melayu pasar. Bagi Suman, ketepatan penggunaan lafal e pepet dan e taling merupakan perkara yang perlu diperhatikan untuk mencerminkan sikap berbahasa. Dalam acara itu Suman mengulas pepatah-petitih Melayu dan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 1997--1998 pula ia mengisi kolom Menyelami Bahasa Indonesia dalam majalah "Harmonis" di Jakarta. Kolom itu diisinya dengan judul-judul yang memancing rasa penasaran pembaca.
Dalam perannya sebagai bahasawan itu, Suman kerap mengamati penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan bahasa Melayu tinggi. Ia mengkritik penggunaan kata-kata yang tidak mangkus. Di samping itu, Suman (1998: 185) juga mengungkapkan, "Selain itu, orang sering mengucapkan kata-kata 'Aduh bau!' bila melewati selokan yang busuk. Padahal dalam bahasa Melayu, bau itu belum tentu busuk. Bisa juga harum. Oleh sebab itu, dalam bahasa Melayu untuk mengungkapkan bau itu banyak ragamnya. Misalnya, amis, hancing (bau air seni), dan sebagainya."
Boleh dikata Suman yang lahir di Bengkalis pada tahun 1904 itu adalah penghubung bahasa Melayu tradisional dengan bahasa Melayu modern (bahasa Indonesia). Dalam ceramah-ceramahnya tentang bahasa Indonesia, pendiriannya untuk mengelakkan pemakaian kata-kata yang tabu dalam bahasa Melayu tinggi tetap ia pegang teguh. Dengan cara itu ia mempertahankan bahasa Melayu Riau sebagai teras bahasa (Melayu) Indonesia.
Sebagai seorang pendidik, ia adalah seorang guru yang dikenal dengan keramahannya. Berlainan dengan guru-guru lain pada masa itu, Suman Hs. adalah guru yang tidak pernah marah dan tidak pula menghukum siswa-siswanya dengan kekerasan fisik. Sosok Suman Hs. yang lemah lembut digemari oleh para siswa dan orang tua.
Kepandaiannya mengajar itu beroleh anugerah dari Sultan Syarif Kasim II. Suman (1998: 69) menceritakan pengalamannya ketika ia mengajar di HIS Siak. Sultan berkunjung ke HIS dan mendengarkan Suman mengajar. Di sana sultan terpikat oleh pengajaran bahasa Melayu yang kaya akan pepatah-petitih. Alhasil Suman menerima hadiah dari Sultan berupa jam beker dan beberapa potong pakaian.
Tidak hanya mendidik dengan cara mengajar, ia juga mendidik dengan keteladanan. Ia adalah pribadi yang sederhana dan murah hati. Kesederhanaan Suman diungkapkan oleh Mulyadi (1998: 299) dari cara berpakaiannya dan kebiasaannya berjalan kaki serta berkereta angin. Hamidy (1998: 321) juga mengungkapkan kesederhanaan Suman dari cara ia berbicara serta rumah dan keluarganya. Adapun citra dirinya yang murah hati itu tampak pada kesenangannya membantu orang-orang susah.
Sebagai seorang pejuang, perjuangannya terlihat jelas dalam bidang pendidikan. Selain menjadi salah satu pendiri Universitas Islam Riau, ia juga adalah salah satu pendiri SMP Islam pertama di Riau. Berkat usahanya, Muhammad Yamin mendirikan SMA negeri di Pekanbaru. Hingga hari tuanya Suman terus mengurus masalah pendidikan dan memimpin Yayasan Lembaga Pendidikan (YLPI) Riau. Selain di bidang pendidikan, Suman juga memasuki dunia politik melalui Partai Islam Masyumi selama 23 tahun.