Mohon tunggu...
Mario Baskoro
Mario Baskoro Mohon Tunggu... Jurnalis - Punya Hobi Berpikir

Hampir menyelesaikan pendidikan jurnalisme di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Secara praktis sudah menyusuri jalan jurnalisme sejak SMA dengan bergabung di majalah sekolah. Hampir separuh perkuliahan dihabiskan dengan menyambi sebagai jurnalis untuk mengisi konten laman resmi kampus. Punya pengalaman magang juga di CNN Indonesia.com. Tertarik di bidang sosial, politik, filsafat, dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ada Kalanya Seni Menulis dan Jurnalisme Harus Saling Melebur

2 Juli 2017   11:25 Diperbarui: 3 Juli 2017   16:35 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Generasi muda adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk menjadi produktif dalam menulis. Namun, hal tersebut sangat disayangkan tatkala semakin jauh Indonesia menjajaki modernisasi, semakin menipis pula persebaran anak muda yang bersedia (atau setidaknya berniat) untuk mengabdikan diri mereka dalam dunia tulis menulis. Padahal, menulis adalah kegiatan sederhana. Kita menempatkan apa yang ada dipikiran kita kedalam bentuk kesistematisan verbal 'hitam diatas putih'. Tetapi bagi pribadi tertentu yang mempunyai motivasi khusus terhadap aktivitas tulis menulis, menulis adalah lebih dari sekadar itu. Menulis adalah bagian dari pengintuisian perasaan kita terhadap sesuatu hal. Menulis membantu siapa saja dalam mengeksplor sekaligus memperdalam sisi emosional mereka. Dari menulis, siapapun dapat memperoleh ketenangan jiwa, keselarasan psikologis, serta kepuasan pikiran.

Namun, ketika motivasi khusus tersebut tertumpang-tindihkan oleh tuntutan kepentingan lain, kini menulis menjadi kehilangan tujuan awalnya. 'Tuntutan kepentingan lain' yang penulis maksud disini adalah kepentingan yang secara konteks garis besar bertujuan untuk merugikan pihak lain secara personal dalam rangka memperoleh keuntungan pribadi. Motivasi menulis yang salah seperti demikian merupakan cikal bakal yang mendorong maraknya arus perkembangan informasi palsu atau yang biasa disebut dengan hoaks. 

Hoaks merupakan gejala dimana adanya ketimpangan antara tingginya motivasi untuk menulis dengan rendahnya kapasitas etika dalam berinformasi. Budaya berinformasi yang baik adalah penting dalam rangka menjamin kekondusifan emosional bagi siapa saja yang mengonsumsi informasi dari suatu tulisan tertentu. Hoaks dapat membawa pemikiran masyarakat pada penafsiran yang salah terhadap realitas tertentu.

Ketika kesalahan penafsiran tersebut memicu perdebatan dan tuduhan tak berarti ditengah banyak pihak, disinilah kerentanan potensi disintegrasi akan perlahan-lahan mengalir. Mengingat kita semua terjebak dalam kondisi Indonesia yang demikian, anak muda harus memperkaya diri dan memperluas serta mengkritiskan pikiran mereka melalui peningkatan kemampuan menulis beretika sebagai bagian dari budaya berinformasi yang baik. Hal tersebut akan secara otomatis tersusul oleh kemampuan literasi dan mengolah informasi ; yang secara berkelanjutan akan dibutuhkan untuk menanamkan pengetahuan masyarakat akan betapa berbahayanya hoaks itu sendiri sembari pelan-pelan menekan arus persebarannya.

Budaya berinformasi yang baik tidak terlepas dari yang namanya aspek verifikatif, aktualitas, moral, independensi dan kejelasan otoritas. Karena kelima hal tersebut adalah dimensi penting dalam tetek bengek jurnalisme, maka tak heran dalam essay ini penulis cenderung 'meninggikan' etika jurnalistik sebagai kajian ilmu yang secara intensif dapat menjadi bekal yang mampu memenuhi kompetensi menulis-berinformasi yang baik. 

Sebagai badan yang masih menjunjung tinggi 'kebebasan informasi yang sopan', media (beserta para jurnalis dibawah pemayungannya) hendaknya mengambil bagian dalam upaya penanaman pentingnya etika kepenulisan yang anti-potensi hoaks. Karena, tulisan yang baik adalah tulisan yang berbicara. Tulisan yang berbicara adalah tulisan yang indah secara emosional kemudian dililit dengan sentuhan asas verifikasi dan atribusi ala jurnalistik sehingga akan bersifat informatif dan menggugah jiwa disaat yang bersamaan.    

Sebagai bentuk sarana penyampaian informasi yang paling mengena aspek pikiran dan perasaan manusia, pengekpresian verbal dalam bentuk 'tulisan yang berbicara' adalah modal bagus dalam dunia kejurnalistikan yang berorientasi pada kebebasan informasi yang berkualitas. Tulisan yang berbicara adalah cerminan dari bagaimana sang penulis sendiri melihat, menilai dan berpikir tentang objek/subjek tulisnya secara sungguh-sungguh sebagai bagian dari intuisi hati dan pikirannya. Kemampuan menghidupkan tulisan yang diiringi dengan kompetensi (paling tidak yang dasar) mengenai etika kejurnalistikan adalah senjata apik yang secara berkelanjutan akan semakin meruntuhkan fenomena persebaran hoaks.

Majalah Tempo adalah satu dari sekian beberapa contohnya. Sudah selama bertahun-tahun penulis sudah mengandalkan majalah Tempo sebagai media cetak yang menjamin sensasi keaktualan dan kedalaman informasi serta keindahan verbal sastrawi disaat yang bersamaan. Sejak dekade terakhir pun, fenomena lahirnya insan penulis dari dalam dinamika jejak di dunia kejurnalistikan pun sudah menjadi tren dan isu yang paling banyak dibahas dalam dunia akademik. Seakan batas antara seni menulis dan jurnalistik mulai hilang, kini telah banyak sosok yang memanfaatkan kemampuan menulisnya sebagai bagian dari pengabdiannya dalam dunia jurnalistik. Banyak pensiunan wartawan yang juga penulis novel ; penyiar radio yang menghabiskan waktu luangnya dengan menyusun buku ; reporter lapangan yang multitasking sebagai reporters tulis pula, dan masih banyak lagi.  

Seiring waktu, hal tersebut mengakibatkan lahirnya banyak pihak pengonsumsi informasi yang mengandalkan surat kabar atau online tidak hanya sekadar sebagai alat pemenuh kebutuhan akan keaktualan informasi, melainkan juga akan intuisi perasaan dan emosional apa yang diperoleh dari tulisan informasi tersebut. Mereka menjadikan keindahan tulisan sebagai salah satu parameter dalam menilai suatu produk jurnalistik dan media yang menulisnya. Walaupun memang terkesan subjektif, namun mau bagaimana lagi, itu lah gejala daripada paradigma koherensi antara kewartanan dengan kepenulisan. Sebagai anak muda yang mempunyai motivasi khusus terhadap segala sesuatu yang berhubungan keindahan tulisan, secara personal penulis mengakui bahwa penulis adalah salah satu dari mereka, hehe.

Atas apa yang penulis paparkan dalam essay ini, bukan berarti penulis mengansumsikan mentah-mentah bahwa semua orang yang berpetualang dalam dunia kepenulisan juga mempunyai tuntutan kompetensi yang sama dalam dunia jurnalisme. Bagaimana pun, kedua hal tersebut adalah sesuatu yang berbeda, berbeda dalam hal platform dan prospek, meskipun mewarisi keidentikan yang sama, yakni soal permainan kata-kata. Keduanya pun didasarkan oleh idealisme dengan motif yang berbeda.

Jika dalam jurnalistik idealisme pribadi menjadi sesuatu yang hendaknya dikontrol sesuai dengan 'tempat dan kadar'nya, dalam dunia kepenulisan, idealisme adalah hal yang penting karena itu merepresentasikan otoritas dan jati diri penulisnya. Namun, tetap saja, yang ingin penulis tekankan disini ialah, kombinasi sempurna antara keduanya akan menciptakan lebih banyak buah-buah kekondusifan bagi lebih banyak orang. Sudah saatnya Indonesia harus bangkit sebagai sebuah bangsa yang melahirkan insan-insan produsen informasi yang berkualitas ditengah tantangan persaingan pers global dan peredaran hoaks yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun