Sebagai kaum mahasiswa, salah satu dilema paling krusial yang mengiringi penjajakan akademi kami adalah soal pereferensian. Kewajiban untuk menyusun sebuah makalah, laporan penelitian, tesis, dan sebagainya adalah sesuatu yang sudah sangat biasa. Dalam meyelesaikannya, tak hanya mahasiswa, siapapun pasti membutuhkan referensi.
Dalam dunia perguruan tinggi jaman dulu, mahasiswa berbondong-bondong dan berebut-rebut mengunjungi perpustakaan, berharap mampu memperoleh (atau kasarnya kebagian) referensi pustaka yang kiranya koheren untuk dikaji kontennyanya, sebagai rujukan yang mendasari isi makalah, laporan penelitian atau tesisnya nanti. Bisa dibilang, dulu berkat itu, tidak ada jarak yang sungguh berarti antara kehidupan mahasiswa dengan buku, dan itulah yang membuat mereka lebih melek.Â
Tanpa buku berarti tidak ada modal untuk bertahan hidup. Bertahan hidup untuk terus mempertahankan posisinya agar tetap berada di 'zona kepantasan sebagai pemegang status mahasiswa'. Melelahkan, namun menggugah. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada memenuhi otak dan pikiran dengan goresan dokumentasi pengetahuan hitam diatas putih dan kemudian mendalaminya. Akan lebih baik lagi, jika nama-nama penulis dan penyusunnya pun juga tak lari dari ingatan.
Menghabiskan waktu berlama-lama di perpustakaan seakan menjadi tren, jauh dari penghantuan kekawatiran akan dimarahi orang tua , karena kita asumsikan bahwa memang inilah yang mereka mau. Mempunyai anak rajin seperti kami, teronggok tegap di bangku perpustakaan selama empat hingga lima jam bak insan berilmu, padahal bukan apa-apa selain menyicil bahan kutipan untuk tugas kuliahnya nanti.. Hehe..
Tanpa disadari, semua paradigma mengena itu pudar seiring kehadiran inovasi teknologi komunikasi global berupa internet yang mulai menunjukan dominasi dan eksistensinya. Satu per satu, anak muda dijanjikan satu hal yang disebut dengan efisiensi ; kecepatan ; keinstanan, dalam hal tenaga dan waktu dalam mengumpukan informasi, dan kemudian akhirnya melupakan buku.Â
Satu per satu dari mereka berpindah haluan ke kubu penyuka internet dalam hal berburu referensi. Lahirlah perspektif baru : internet yang hanya dibutuhkan modal berupa ketersediaan jaringan plus kata kunci dari informasi yang dicari tentu adalah jauh lebih baik, ketimbang buku yang seyogyanya merupakan wadah informasi berfisik yang berat, terbatas serta membutuhkan ruang dan uang.
Kini tidak lagi mereka berpacu dengan berlembar-lembar harumnya aroma kertas yang tidak jarang menganggu hidung ; tidak lagi mengorbankan tenaga dan biaya untuk mengunjungi, mengelilingi perpusatakaan ; dan melirik setiap rak-raknya dan meraba setiap punggung bukunya. Dengan sedikit pengeluaran ekstra di awal untuk membeli telepon seluler, mereka sekarang tidak perlu merelakan lebih banyak ruang didalam tas nya hanya untuk tebalnya buku. Cukup sebuah kantong kecil di celana, itu sudah cukup untuk menampung berlimpah-limpah informasi dalam satu genggaman.
Pada perkembangan selanjutnya, 'ada di Google' adalah frasa yang paling banyak disebutkan saat mahasiswa tertentu dalam kondisi tengah membutuhkan referensi, ataupun hanya sekadar membingungkan bahan pembelajaran. Tidak sampai disitu, kondisi terus berlanjut, dimana dalam menyusun tugas paper yang berbau ilmiah, keterlibatan internet (bersama dengan Google) pastilah ditemukan didalamnya. Berjam-jam dihadapan buku, teralihkan menjadi berjam-jam didepan komputer atau telepon seluler.
Di balik semua kemudahan didalamnya, keterlibatan internet di sisi lain mengancam siapapun mahasiswa kedalam sebuah bahaya. Ya.. Bahaya. Internet lebih berbahaya dari apa yang kita duga. Tidak seperti buku yang keseluruhan bagian kontennya terukur dan memiliki jaminan verifikasi serta telah melewati tahap editing yang mendalam, internet justru rentan akan penyesatan.Â
Tidak seperti buku pula yang jelas orientasi fokus disiplin pembahasannya, internet sebagai sebuah wadah referensi dapat hadir dalam berbagai varian jelmaan, mulai dari blog, media sosial, dokumen elektronik, berita, bahkan penelitian terdahulu. Yang lebih interaktif seperti video atau fitur live tatap muka pun juga tak lupa ikutan ; dan sekali lagi itu tidak dapat ditemukan didalam buku. Itu semua tidak terbatas hanya dalam fokus kajian ilmu dan informasi tertentu, segalanya ada disana, berbagi tempat dan bercampur aduk satu sama lain tetapi tidak selalu saling mengisi.
Oleh karena itulah, mengupayakan verifikasi dan kredibilitisasi segala ketidakterbatasan informasi yang ada di internet adalah hal yang nyaris tidak mungkin. Permasalahan kembali berlanjut, tatkala siapapun mampu bertindak-tanduk di sana, bahkan sebagai 'yang tidak dikenal' atau yang biasa disebut sebagai anonymous, sekalipun kualitas rekam jejak, kapasitas pengetahuan dan latar belakang dikesampingkan.