Tatkala seorang ayah menitikkan air mata untuk puteri tercintanya, itu adalah ungkapan sekaligus tanda  memuncaknya cinta yang lahir dari puri kedalaman hati. Sang ayah di depan moment pernikahan puterinya mencoba mengumpulkan ribuan kenangan yang pernah dilewatinya bersama puterinya, namun tak bisa. Tak ada bahasa yang tepat untuk mengungkapkan dan menyingkapkan  kenangan-kenangan itu selain dengan  meneteskan air mata.
Bagaimana sang ayah tidak menangis, puterinya telah mencuri sebagian dari dunianya. Ia tak pernah sungguh-sungguh bahagia selain karena kehadiran anak puterinya yang selalu memanggilnya ayah. Â Setiap hari, ia merasa seperti sedang berada di dalam sebuah taman yang dipenuhi dengan aneka bunga dan puterinya adalah bunga yang paling menawan dari semua bunga yang ada.Â
Pada pagi hari sebelum berangkat kerja ia berkata di dalam hatinya: "Ya Tuhan, jaga puteriku. Aku ingin kembali dan melihat senyumnya lagi dan lagi". Ketika ia kembali, puterinya berlari menyongsongnya dan memberinya sebuah kecupan yang hangat.Â
Pada malam hari sebelum memejamkan matanya, sang ayah memandang raut wajah puteri kecilnya dan berkata di dalam hati: "Ya Tuhan, bisakah engkau membiarkan dia menjadi puteri kecilku selamanya? Jangan ambil kebahagiaanku ya Tuhan, aku tak ingin ada yang mencuri cintanya dariku. Tetapi itu tentu tak mungkin. Aku tahu suatu ketika aku harus melambaikan tangan dan mengucapkan selamat jalan baginya yang akan menemukan pendamping hidupnya. Aku ingin dia selalu berada di pangkuanku, mendengarnya mengatakan: "Aku cinta ayah". Tetapi pada suatu ketika aku harus rela merasa lapar dan haus untuk mendengarkan itu setiap kali, karena ia pasti akan mengatakan itu lebih sering kepada laki-laki pilihannya. Aku ingin dia selalu menjadi gadis kecil yang selalu mencoba membuatkanku semangkuk makanan kesukaanku dan melompat kegirangan ketika aku mengatakan: "itu adalah sup terbaik yang pernah ayah makan"
Sang ayah menangis untuk puterinya, ketika ia melihat seorang pria yang tak terlalu dikenalnya menggandeng tangan anak puterinya. Ia percaya pada pilihan puterinya. Ia juga yakin puterinya bahagia dengan pria yang kini ada disampignya. Apa yang membuat sang ayah menjatuhkan air mata juga oleh karena ia ragu apakah sang pria bisa memberi puterinya kebahagiaan seperti yang telah ia berikan? Apakah ia bisa membuat puterinya tersenyum ketika sedang dalam keadaan getir dan pahit hidup mereka? Apakah ia akan setia menemani puterinya sebagaimana ayahnya setia memelihara dan menjaganya?
Air mata terakhir menetes dari mata sang ayah sambil ia berbisik pada telinga puterinya: "Engkau tahu betapa ayah tak ingin kehilanganmu. Namun ayah tak adil bila mengambilmu kembali. Ayah hanya berpesan satu hal, pria yang saat ini akan menjadi pendamping hidupmu bukanlah ayah. Engkau mungkin masih berharap mendapatkan perhatian yang lebih, sebagaimana yang telah ayah berikan kepadamu. Â Jika pria ini belum bisa memberimu kebahagiaan, tunjukan kepadanya hal baik yang telah ayah ajarkan kepadamu. Engkau tak usah mengubahnya menjadi sama seperti ayah. Engkau hanya perlu menunjukkan kepadanya bahwa engkau pernah hidup bersama dengan seorang ayah yang memberimu cinta, bukan menjanjikan cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H