Tanggal 16 Oktober 2011, dunia internasional memperingatinya sebagai Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Tanggal ini di tetapkan berdasarkan tanggal pendirian organisasi pangan dan pertanian dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) yang didirikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Namun peringatan hari pangan sedunia baru ditetapkan dalam konferensi umum FAO pada bulan November 1979 dan diperingati untuk pertama kalinya pada 16 Oktober 1980.
Di peringatannya yang ke-31, tema yang diambil FAO adalah "Food Prices; From Crisis To Stability". Hal ini merujuk pada keadaan harga pangan dunia yang terus mengalami peningkatan. Sementara pemerintah Indonesia sendiri mengambil tema "Menjaga Stabilitas Harga dan Akses Pangan Menuju Ketahanan Pangan Nasional" yang diperingati di Kabupaten Gorontalo karena keberhasilan kabupaten tersebut dalam meningkatkan produksi jagung.
Berdasarkan data yang dirilis FAO, produksi sereal dunia hingga 6 Oktober 2011 berada pada level 2.310.3 juta ton, meningkat 68,3 juta ton atau hampir 3 persen dibandingkan dengan tahun 2010/2011. Sementara tingkat konsumsi pangan dunia mencapai 2.797,8 juta, meningkat sebesar 29,5 juta ton atau 1,3 persen dibandingan 2010/2011. Sementara untuk produksi beras dunia, berada pada level 480,5 juta ton, meningkat sebesar 14,1 juta ton atau 3 persen dari tahun 2010. Sementara tingkat konsumsi beras mencapai 470,8 juta ton, meningkat sebesar 9,9 juta ton atau 2,1 persen dibandingkan tahun 2010. Dengan demikian, stok seral dunia berada pada level 494,4 juta ton dan stok beras dunia pada level 148,1 juta ton.[1]
Data diatas menunjukkan bahwa, tingkat produksi pangan dunia cukup untuk memenuhi tingkat konsumsinya, bahkan melebihi (surplus). Namun disatu sisi, masih bangat rakyat di berbagai Negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Seperti yang dirilis FAO, tiap 6 detik seorang anak meninggal karena kelaparan. Dan sekitar 900 juta orang di dunia yang kekurangan pangan, dan dari jumlah tersebut, sekitar 570 jutanya hidup di wilayah Asia-Pasifik termasuk Indonesia.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor harga pangan yang terus mengalami peningkatan secara drastis. Seperti yang dirilis FAO, Indeks harga pangan (IHP) menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Desember 2010, IHP dunia berada di posisi 223, dan Februari 2011 menyentuh level tertinggi yakni sebesar 238. Dan hingga September 2011, IHP berada pada posisi 225.[2]
Menurut Food Price Watch, harga pangan global tahun 2011 secara signifikan lebih tinggi dibanding tahun 2010. Sejak krisis pangan melanda tahun 2007 hingga sekarang terjadi kenaikan harga komoditas jagung hingga 84%, gula 62%, gandum 55%, dan minyak kacang kedelai 47%. Sementara sebesar 60-70% dari pendapatan rata-rata rakyat diseluruh dunia digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Dengan demikian, kenaikan harga pangan tentu akan berdampak pada semakin banyaknya rakyat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan.
Krisis Pangan dan Sempitnya Kepemilikan Lahan Rakyat.
Persoalan krisis pangan sangat dipengaruhi oleh luas lahan pertanian pangan itu sendiri. Luas lahan pertanian pangan yang semakin berkurang, tentu berdampak pada tingkat produksi pangan juga akan ikut menurun. Apalagi jika sistem pertanian yang dijalankan, adalah sistem pertanian tradisional yang masih sangat bergantung pada iklim/musim, dengan penggunanaan alat kerja yang masih sederhana.
Selain itu, soal yang paling pokok adalah, kepemilikan jumlah lahan tentu akan berdampak pada tingkat kesejahteraan kaum tani yang akan menentukan kemampuan kaum tani dalam memenuhi kebutuhan akan pangan.
Dari data yang dipaparkan oleh Institute for Development of Economics and Finance Indonesia (INDEF), di sepanjang tahun 2007 hingga 2010 saja, jumlah luas lahan pertanian produktif di Indonesia yang mengalami alih fungsi mencapai 600.000 Ha. Disatu sisi, jumlah rumah tangga pertanian terus mengalami peningkatan. Saat ini, rata-rata kaum tani Indonesia hanya menguasai lahan sebesar 0,5 ha dengan rata-rata satu rumah tangga pertanian menghidupi 3-5 orang. Bahkan di Pulau Jawa dengan populasi penduduk terpadat, rata-rata penguasaan tanah kaum tanu hanya mencapai 0,3 hektar. Belum lagi jika bicara tentang mahalnya biaya produksi pertanian yang semakin meningkat. Misalnnya saja dengan harga pupuk yang sangat mahal sebagai akibat dari mahalnya biaya produksi, salah satunya dari segi bahan bakar karena minimnya pasokan gas bagi industri pupuk.
Sementara itu, upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri juga cenderung berpihak pada kepentingan pasar, menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi asing. Bukannya semakin meningkatkan akses rakyat atas pangan, justeru harga pertanian lokal anjlok karena kalah bersaing dengan hasil pertanian import yang "diberi label lebih berkaulitas" dan jelas lebih murah karena disubsidi oleh pemerintahnya.