Mohon tunggu...
Mario Kulas
Mario Kulas Mohon Tunggu... lainnya -

Ordinary People

Selanjutnya

Tutup

Money

Benarkah Newmont Melobi Freeport?

2 November 2011   13:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski situasi politik di Papua semakin memanas, namun perjuangan PT Freeport Indonesia untuk menuntut kenaikan upah masih terus berlangsung hingga saat ini. Seperti yang diberitakan di berbagai media massa, perjuangan yang dilakukan oleh buruh PT FI didasari oleh tingkat upah yang sangat rendah. Menurut Serikat Pekerja Freeport Indonesia (SPFI), selama ini hanya mencapai US$ 2,1-US$ 3,5 per jam, padahal jumlah upah buruh Freeport Mcmoran di beberapa Negara lain yang sudah mencapai US$ $ 66,43 per jam pada tahun 2010.

Atas dasar inilah, SPFI menuntut kenaikan upah hingga US$ US$ 17,5-US$ 44 per jam. Namun, pasca bentrokan dengan pihak kepolisian (10/10) hingga meninggal dua orang buruh yang terlibat dalam aksi tersebut, SPFI telah menurunkan tuntutan kenaikan upahnya hingga US$ 7,5 per jam.

Menanggapi tututan buruh tersebut, manajemen PT FI masih tetap bersikeras pada kenaikan upah sebesar 25%. Selain karena perhitungan manajemen PT FI yang menganggap bahwa jumlah tersebut adalah jumlah yang wajar, juga karena usulan pemerintah Indonesia yang memang mengusulkan kenaikan upah hanya sebesar 25%. Itu artinya, hanya akan menaikan upah sebesar US$ 0,5 hingga US$ 0,9 per jamnya. Jumlah ini tentu sangat jauh dari jumlah kenaikan upah yang dituntut oleh buruh.

Selain itu, sikap ngotot PT FI yang hanya akan menaikan upah sebesar 25% tersebut, dikabarkan juga karena hasil lobi oleh perusahaan tambang milik Amerika Serikat lainnya, yaitu Newmont, NCO, Medco, dan Unilever. Seperti yang diberitakan di Majalah Tambang (27/10/2011), kabar tersebut disampaikan oleh Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Pius Ginting.

Menurut Pius, adanya desakan dari beberapa perusahaan agar Freeport tidak menaikkan upah karyawan itu, disampaikan sendiri oleh Director Executive Vice President & Chief Admin Officer Freeport Indonesia, Shinta Sirait, dalam rapat pertemuan Indonesia Center for Ethics (ICE) di Bimasena Club, Jl Dharmawangsa, Jakarta.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Manager Public Relation PTNNT, Rubi W Purnomo membantah bahwa tidak ada dari Newmont yang mendatangi Freeport dan meminta Freeport untuk tidak memenuhi tuntutan buruh. Menurutnya, konteks pembicaraan itu terkait dengan rilis Indonesian Mining Association (IMA) yang dikeluarkan pada Jumat, 30 September 2011, dengan tandatangan Wakil Ketua Umum IMA, Tony Wenas. Inti rilis itu menyebutkan tuntutan karyawan Freeport terlalu tinggi, tidak realistis, tidak sesuai dengan standar-standar yang berlaku di Indonesia dan industri pertambangan. Dan jika dipenuhi, akan menimbulkan kesenjangan pendapatan dengan sektor industri lainnya, serta mengurangi penerimaan negara.

Terlepas dari kabar tersebut, aksi yang dilakukan oleh buruh PT FI telah menjadi kekhawatiran sendiri bagi perusahaan-perusahaan tambang lainnya. Tentu aksi yang dilakukan oleh buruh PT FI dikhawatirkan akan memberikan inspirasi bagi buruh-buruh di perusahaan tambang lainnya.

Tekait dengan aksi mogok buruh untuk menuntut upah, juga pernah dialami oleh PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Pada 2-5 Agustus 2010, sedikitnya 2.000 karyawan PTNNT sempat mogok kerja menuntut pembayaran upah lembur terhitung sejak Juni 2008 hingga Mei 2010.

Tuntutan pembayaran upah lembur tersebut didasari pada hasil pengujian roster atau jadwal kerja di Newmont. Mereka curiga ada kelebihan lembur yang tidak dibayar. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan PPK Disnakertrans NTB, Newmont menerapkan pola kerja atau roster 4:4, atau 4 hari kerja empat hari libur untuk 1.919 karyawannya di bagian operasional. Dengan pola ini, per hari karyawan bekerja selama delapan jam regular dan empat jam dihitung lembur. Namun, pola yang diterapkan melalui perjanjian kerja bersama (PKB) itu ternyata menyalahi aturan dalam Keputusan Menakertrans Nomor 234 tahun 2003 tentang Waktu Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan Sumberdaya Mineral.

Dalam Kepmen itu diatur masa kerja regular untuk roster 4:4 itu selama tujuh jam, sementara Newmont menggunakan delapan jam. Artinya ada selisih satu jam yang harus dibayarkan sebagai upah lembur, dan totalnya mencapai Rp 126 miliar. Hingga sekarang, proses hukumnya masih berjalan dan menunggu keputusan banding yang diajukan PT NNT ke Pengadilan Hubungan Industri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun