“Dari Sabang sampai Merauke .... Itulah Indonesia”. Lagu Nasional kita yang menggambarkan betapa luas dan gagahnya Indonesia. Bentangan alam nan indah yang membuat mata tidak inigin berkedip saat melihatnya, gunung-gunung eksotis yang membuat para pencita alam ingin menggampai puncaknya, potensi alam yang terbentang luas dari tambang hingga perairannya. Inilah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekarang, kata Kesatuan harus hilang dan kita telan bulat-bulat. Pahit? Memang itu kenyataan pahit yang saat ini kita rasakan sebagai rakyat yang hidup di Negara yang hebat ini. Alam yang menjadi bagian negara ini seharusnya menjadi milik kita kini sudah tidak seutuhnya milik kita. Gunung besar yang dulunya terbentang bendera Indonesia harus tergantikan bendera Negara lain. Pemandangan pahit bagi kita saat ini , tapi pemandangan indah bagi mereka yang menikmati hasil semua itu.
Merdeka? Belum! Kita belum merdeka. Kita seperti dijajah kembali oleh ‘Mereka’ yang memanfaatkan kita. Bagai Harimau tanpa Taring. Inilah bangsa kita saat ini. Tidak lagi menjadi Negara kesatuan yang dulunya di perjuangkan Mereka mati-matian. Kita seperti tuan rumah yang tak mengerti seluk beluk rumah kita. Potensi alam yang besar terdeteksi bukan oleh kita, melainkan pihak-pihak luar yang memandang Negara ini sebagai lahan tambang mereka.Inilah fakta yang terjadi dinegara kita ini. Bangsa kita seperti diam dan pasrah menghadapi permasalahan ini. Menangis ? Ya, mungkin pendiri Bangsa ini akan menangis bila mereka hidup disaat ini, melihat bangsa yang mereka satukan seperti terpecah dengan persetujuan bangsa ini sendiri.
Siapa yang harus disalahkan? Kemana petinggi negeri ini melihatnya? Pemerintah seperti makelar Tanah yang menjajakan tanahnya ke pihak lain. Kasus baru beredar luas di tengah resahnya masyarakat akan bangsa ini. “Gunung Ciremai Dijual kepada Chevron!”. Chevron Sebuah perusahaan Amerika yang memanfaatkan lahan kita ini sebgai tambang panas bumi mereka. Kembali, Satu dari banyak lahan kebanggaan bangsa ini harus beralih kepemilikan. Kita seperti tidak belajar dari Freeport. Dalam kasus itu kita seperti bodoh. Atau mungkin sangat bodoh. Amerika mendapat 90% hasil tambang tersebut. Kemana 10% lagi? Kita sebagai tuan rumah hanya mendapat 1% saja dan 9% lagi harus kita bagi ke puhak-pihak lain. Ratusan ribu ons emas murni beranjak dari negeri kita ke negeri lain. Jika hasil seperti itu dapat kita nikmati, mungkin bangsa kita tidak perlu harus menjual lahan-lahannya ke pihal lain. Sakit? Memang sakit bila kita mengetahuinya. Dan sekarang kita harus merelakan kenyataan baru bahwa Ciremai harus di jual ke pihak lain. Seharusnya bangsa besar seperti Indonesia ini dapat mengolah alamnya ini sendiri bukan dengan menyewakannya ke negara lain.
Bukan milik pribadi. Sebuah pernyataan yang tepat untuk bangsa kita saat ini. Apa yang harus kita lakukan? Berfikir keras adalah cara tepat untuk kita bangsa Indonesia lepas dari permasalahan ini. Kita bisa! Bilamana kita tidak hanya memikirkan kepentingan sendiri kita bisa menjadikan aset bangsa kita ini kembali menjadi Milik Pribadi.
Ditulis oleh Mario Benhard.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H