Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
Tepat 74 tahun lalu bumi dan seluruh penguninya dikejutkan dengan teriakan kata "merdeka" dari dalam rahim Ibu Pertiwi. Perjalanan panjang dan kerinduan atas kebebasan kini terbayar lunas setelah noda darah terbasuh oleh airmata bahagia.
Hari ini, seluruh rakyat Indonesia seperti kembali gerilya dan meneriakan kata "merdeka" melalui caranya masing-masing. Menarik untuk dipertanyakan; Setelah 74 tahun merdeka, apakah kita masih Indonesia? Jika bercermin pada realita yang terjadi saat ini, maka bukanlah hal yang sulit untuk mencapai sebuah kesepakatan bahwasannya setelah 74 tahun merdeka kita belum sepenuhnya menjadi Indonesia. Pasalnya, kemerdekaan yang direbut oleh leluhur kita dahulu dilakukan sebagai Indonesia yang utuh, bukan sebagai Indonesia yang terpetak-petak oleh Suku, Agama, Ras atau Golongan tertentu.
Seandainya dahulu Masrin Muhammad bertindak sebagai seorang Muslim, Yosafat Soedarso bertindak sebagai Katolik, Thomas Matulessy sebagai Protestan, I Gusti Ketut Jelantik sebagai Hindu, atau Gatot Subroto sebagai seorang Buddah, maka mustahil jika sekarang kita dengan lantang meneriakan kata merdeka. Jika seandainya dahulu Soekarni, Shodancho Singgih, Jusuf Kunto bertindak sebagai seorang keturunan tulen Indonesia, maka mereka tidak akan memilih rumah Djiauw Kie Siong yang adalah seorang petani berketurunan Tionghoa di Rengasdengklok untuk Soekarno menulis Teks Proklamasi. Mereka telah bertindak sebagai Indonesia yang utuh, tidak melihat warna kulit atau Nama Tuhan siapa yang dipanggil dalam doa.
Kemerdekaan yang telah diwarisi pada kita bukan hanya tentang sebuah kebebasan, melainkan juga semangat dan cara para pahlawan kita berjuang. Hemat saya, kita akan tetap menjadi Indonesia yang utuh jika kita berhenti mengatakan kalau Salib adalah Jin Kafir, berhenti mencurigai wanita berhijab dan bercadar sebagai pelaku terorisme, berhenti berpikir kalau seorang Tionghoa tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan. Kita adalah Indonesia. Tanpa Muslim, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha, kita bukan Indonesia. Tanpa keturunan Tionghoa, kita bukan lagi Indonesia yang plural. Jika kita belum sanggup melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dahulu dilakukan oleh para leluhur kita, maka sebenarnya kita tidak pantas meneriakan kata "merdeka" sebab kita telah melacuri semangat para pejuang kemerdekaan.
Dua warna, satu bendera, satu bahasa, satu saura; INDONESIA. MERDEKA...!!!!!!!!!!!!
Poka, 17 Agustus 2019.Â
#Siput_Kecil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H