Mohon tunggu...
Mario Reyaan
Mario Reyaan Mohon Tunggu... Ilmuwan - MSP, FPIK, UNPATTI

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Natal, Perayaan atau Peringatan?

1 Desember 2018   17:32 Diperbarui: 1 Desember 2018   17:52 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika orang-orang pada era modern yang beranggapan bahwa pernak-pernik Natal yang mewah merupakan persembahan yang terbaik, maka sebenarnya mereka sangat keliru. Pasalnya, persembahan orang Majus dimaksudkan sebagai penghormatan tertinggi bagi Sang Raja yang baru lahir. Sedangkan mereka yang merayakan Natal dengan mewah sebenarnya tidak memberikan penghormatan yang tertinggi sebab mereka hanya mengeluarkan sedikit dari kekayaan mereka untuk memberikan kesenangan bagi diri sendiri atau orang-orang terdekatnya.

Dengan demikian, maka Natal sebenarnya tidak lebih dari sebuah acara tahunan yang meletihkan dan tidak akan meninggalkan bekas. Bahkan berlalu begitu saja. Sebaliknya, hanya ada sebagian kecil orang yang merayakan Natal sebagai sebuah peringatan. Ya, peringatan akan kelahiran Tuhan. Natal sebagai sebuah peringatan berarti kita semua yang mengimaniNya kembali mengingat peristiwa kelahiran yang terjadi ribuan tahun lalu di Betlehem. Peristiwa kelahiran seorang Raja Damai yang amat sangat sederhana. Dia adalah Raja diatas segala raja. Jika mau, Dia bisa saja memilih istana yang megah dengan kasur yang empuk sebagai tempat kelahiranNya, serta para bangsawan sebagai saksi peristiwa itu. Namun kenyataanya terbalik. Dia lebih memilih sebuah kandang hewan peliharaan dan kain lapin yang kasar sebagai tempat dimana Ia lahir. KelahiranNya yang amat sangat sederhana itu disaksikan pula oleh para gembala yang juga dikenal sebagai orang-orang paling rendah pada masa itu. Ia memilih untuk terlahir secara sederhana agar semua orang dapat mengambil bagian dari kemewahanNya. Inilah Natal yang pertama.

Mungkinkah kita semua bisa kembali pada Natal yang pertama? Tentu saja bisa. Kembali pada Natal yang pertama bukan berarti kita harus memutar kembali waktu ke zaman itu lalu pergi ke Betlehem, melainkan menciptakan Betlehem kita sendiri. Betlehem yang sunyi dan sederhana. Menciptakan Betlehem dan kembali pada Natal yang pertama ialah merasakan Kristus dalam kesunyian, membuat jiwa kita lebih peka pada suaraNya. Merasakan Kristus dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang berkekurangan, mereka yang luput dari perhatian kita, mereka yang dibalut oleh penyesalan dan terpenjara. Kita secara bersama-sama memproklamirkan tanpa kompromi tentang kelahiran Sang Penebus. Jadi, apakah salah jika melaksanakan Natal sebagai sebuah perayaan? Tidak demikian. Natal harus tetap dirayakan, namun Natal haruslah diarayakan sebagai sebuah peringatan kelahiran Tuhan yang sarat akan kesederhanaan. Memperingati kelahiran Tuhan tanpa merayakannya bagaikan tubuh tanpa jiwa. Begitupun sebaliknya. Sehingga, sukacita Natal yang kita rayakan sebagai peringatan akan kelahiran Tuhan tidak berakhir pada tanggal 25 Desember atau ketika lilin dan lampu pohon Natal dipadamkan melainkan terus-menerus dirasakan bersama setiap hembusan napas hidup kita. Inilah Natal yang sesungguhnya. Jadi, Natal seperti apakah yang anda jalani? Perayaan atau peringatan?

#Siput_Kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun