Mohon tunggu...
marink
marink Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kusuma Bagi Ibu Bangsa (Megawati Soekarnoputeri)

9 Agustus 2016   08:21 Diperbarui: 9 Agustus 2016   08:27 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MEGAWATI Soekarnoputeri ialah Ibu Bangsa Indonesia. Perjalanan hidup Megawati ditakdirkan sangat erat dengan jatuh bangunnya Republik Indonesia, karena memang ia adalah puteri sulung dari Presiden Pertama Republik: Bung Karno. Mega lahir di Jogja pada saat Republik harus mengungsi akibat terjadinya Agresi Militer Belanda, tak lama bayi Megawati harus ikut ke pengasingan akibat Bung Karno tertangkap Tentara Belanda.

 Pasca pengakuan kedaulatan, masa remaja Mega di Jakarta dilalui dengan peristiwa horor, menyaksikan upaya pembunuhan terhadap Bung Karno di sekolah Cikini. Dan saat mulai beranjak dewasa, dirinya harus menghadapi kenyataan sangat tragis: Bung Karno dikudeta dan meninggal dalam status tahanan politik Orde Baru (Orba) di Jakarta.

Megawati menjalani puluhan tahun kehidupan politiknya selama Orba dalam kesabaran yang teramat sangat, diteror dan ditindas- karena merupakan penerus Bung Karno. Saat-saat itu Orba sangat paranoid terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Bung Karno. Sejurus, jatuhnya Orba memberikan kesempatan bagi Megawati untuk memimpin Bangsa Indonesia, sebagai Presiden Kelima Republik selama tiga tahun (2001-2004). 

Kalah di dua pemilu dan pilpres (2004 dan 2009), sepuluh tahun lamanya Mega kembali harus sabar menjadi oposisi. Kini, dua tahun setelah pemilu dan pilpres 2014 dimenangkan partai dan kadernya dari Solo (Joko Widodo), Megawati masih menjadi sosok yang paling menentukan dalam perjalanan politik Bangsa Indonesia ke depan.

Di usia senjanya (70 tahun tahun depan), ada semacam kerinduan dari Megawati agar ajaran-ajaran Bung Karno, ayahnya, seperti Pancasila (1 Juni 1945), Trisakti, Revolusi Mental, dan Nawa(ksara)cita diimplementasikan oleh pemerintahan Republik Indonesia. Sayang sungguh disayang, di tengah jalan, saat pemerintahan masih tersisa 3 tahun lagi, beberapa menteri Kabinet Kerja yang sudah bekerja sesuai ajaran-ajaran Bung Karno malah di-retoolingoleh Joko Widodo. Anehnya, seorang menteri yang anti Trisakti dan Nawacita yang ditolak Mega tetap dipertahankan Joko Widodo,

 dan malah dimasukkan --sebagai pelengkap penderita-- seorang ekonom beraliran neoliberal keturunan Mafia Berkeley(arsitek ekonomi Orde Baru) ke dalam Kabinet Kerja. Harapan Mega meneruskan cita-cita Bung Karno pun pupus. Pemerintah Indonesia terancam kembali dalam jerat “penjajahan gaya baru”, atau nekolim, seperti sering diwanti-wanti oleh Bung Karno.

Namun bukan salah Megawati sehingga situasi Bangsa menjadi begini. Beberapa waktu belakangan memang ramai berkembang rekayasa isu dari kubu neo-Orba dan neoliberal sehingga menjauhkan Megawati dari Joko Widodo. Diisukan Mega terlalu mengatur-atur Jokowi lah. Diisukan Mega merendahkan Jokowi lah. Dan isu-isu lainnya yang mengadu domba. Karena berbagai rekayasa isu tersebut, Megawati menjadi risih dan mulai menjauh dari Istana. Dan pada saat Mega menjauh inilah, kubu neo-Orba dan neoliberal menjadi leluasa untuk mengepung dan mempengaruhi Joko Widodo. Terjadilah kemudian retoolingyang mengecewakan tersebut pada 27 Juli 2016.

Apakah Joko Widodo sengaja memilih tanggal 27 Juli sebagai waktu mengadakan retooling untuk mengingatkan Megawati terhadap momentum bersejarah yang kelam (karena terdapat korban jiwa) 20 tahun sebelumnya pada 27 Juli 1996? Seperti diketahui, peristiwa yang biasa disebut Kudatuli tersebut menjadi titik balik bagi perjalanan politik Mega. Karena setelah menyaksikan peristiwa tersebut, simpati rakyat mengalir kepada Megawati --didukung oleh kerinduan massa rakyat kepada Bung Karno-- sebagai tokoh yang didzolimi Orba. 

Mungkin maksudnya hendak menghibur Megawati karena isi retoolingyang mengecewakan. Uniknya, seolah janjian dengan Joko Widodo, Ahok pun memilih tanggal 27 Juli sebagai waktu deklarasinya untuk maju Pilkada DKI 2017 dari jalur partai politik --setelah beberapa saat bergenit-genit dengan pilihan jalur independen bersama Teman Ahok. Belum ada yang dapat memperkirakan arah keputusan Megawati selanjutnya

Perebutan politik Pilkada DKI 2017 menjadi kesempatan terakhir Megawati untuk memanifestasikan ajaran-ajaran Bung Karno dalam pemerintahan. Pilkada DKI 2017 Juga merupakan kesempatan terakhir Megawati mengobati kekecewaan publik akibat retooling Kabinet yang nafasnya tak sejalan dengan TrisaktidanNawacita.Bila salah memilih “jago” dan kemudian kalah, maka DKI akan kembali ke tangan kelompok neo-Orba dan perlakukan-perlakuan neofasis kembali akan diterima rakyat DKI. 

Maka pupuslah sama sekali harapan untuk mewujudkan ajaran Bung Karno di DKI setelah 2017. Yang berarti, lepas juga peluang kembali memenangkan perhelatan politik di 2019. Karena politik ibukota adalah cerminan dari politik nasional. Namun, bila Mega memilih “jago” yang benar --sosok yang paham ajaran Bung Karno dan implementasinya, memiliki rekam jejak kuat keberpihakan ke wong cilik,berkarakter pekerja danpetarung-- sehingga kelak menang di Pilkada DKI 2017, maka tahun 2019 masih milik Megawati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun