Ilham menutup pernyataan dengan petuah bijak dengan mengambil simbol kapal Pinisi.
Rua sombala' kutannang
Rua guling kupataja
Rua balango kubuang makkanre ngaseng
Dua layar aku pasang
Dua kemudi aku siapkan
Dua jangkar aku buang tertancap semua
Barangkali kita pahami bersama bahwa layar pada pinisi berfungsi sebagai alat gerak. Namun, geraknya tergantung pada siapa yang memegang kemudi. Ada saatnya jangkar harus dibuang agar kapal segera berhenti. Entah saat kapal sudah tiba pada tujuan, atau pada saat mengalami hal teknis yang mungkin membuat proses berlayar menjadi terhambat.
Bapak Ilham Azikin menyampaikan bahwa makna dari petuah tersebut yakni; jangan biarkan bibit yang telah bersoal, bangkit kembali di Kabupaten Bantaeng.
Kali ini, saya ingin menggunakan sudut pandang saya sebagai seorang yang gemar bertani. Petani yang sering menanam jagung lebih tepatnya. Ketika sudah kami keluarkan dari bungkusnya, bibit yang sudah terlihat busuk akan otomatis kami buang. Bahkan yang terlihat bagus pun, ketika kami rendam di air dan mengapung 'opa', perlakuan yang sama tetap akan kami berikan. Sebab, menanam bibit busuk dan 'opa' sudah bisa dipastikan akan membuatmu repot menyulam tanam kembali.
Barangkali berbeda pilihan atau pendapat bisa saling kita terima dengan kepala yang dingin. Sebab sekali lagi, 'passianakkangta' dan 'passibijaengta' semoga masih jauh lebih kuat dari proses demokrasi ini.