bumiku tuna warna
sirna semburat bianglala
spektrum cahaya merah ke ungu
tinggal guratan lukisan pilu
bumiku nazak merana
segala darah meraung derita
sel bakteri hingga adam hawa
menghitung nafas tersisa di raga
berduka Bunda di pelukan Ayah Agung
di atas ranjang alam semesta
berderai isak, ratap merundung
anak utama semakin jumawa
tak sadar bumi bukanlah panggung
bukan pemain, melainkan pemelihara
bumiku pucat lesi
keranda berdebu menanti
MN, Februari 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!