Mohon tunggu...
Marina Ika Sari
Marina Ika Sari Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti, The Habibie Center

Peneliti di The Habibie Center di bidang hubungan internasional, pertahanan, keamanan, kebijakan luar negeri, kajian ASEAN dan Indo-Pasifik. Alumni Diplomasi Pertahanan, Universitas Pertahanan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Diplomasi Pertahanan dalam Menjaga Kedaulatan Laut Natuna Utara di Tengah Dinamika Sengketa Laut China Selatan

31 Mei 2024   16:50 Diperbarui: 31 Mei 2024   17:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dinamika perebutan wilayah di kawasan Laut China Selatan (LCS) akibat klaim yang saling tumpang tindih antara Tiongkok, Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Taiwan, masih menjadi isu keamanan utama di kawasan ASEAN. Meskipun Indonesia bukan merupakan claimant state, sengketa LCS mulai "menyeret" Indonesia sejak tahun 2010, setelah Tiongkok mengklaim wilayah Laut Natuna Utara yang merupakan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang bersinggungan dengan kepentingan nasional Indonesia. Berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Indonesia mempunyai hak berdaulat atas wilayah ZEE tersebut. Sementara Tiongkok beralasan pihaknya berhak atas wilayah perairan Laut Natuna Utara atas dasar argumen traditional fishing zone.

Klaim sepihak Tiongkok atas perairan Natuna tersebut masih terus berlanjut hingga membawa Indonesia dan Tiongkok pada situasi "bersitegang" pada tahun 2013 dan mencapai puncaknya tahun 2016. Pada Maret, Mei, dan Juni 2016 tercatat sejumlah kapal-kapal nelayan Tiongkok berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dan melakukan kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). 

Insiden tersebut kembali terjadi pada tahun 2019 dan 2020, dimana tidak hanya kapal-kapal nelayan yang terlibat, tetapi coast guard Tiongkok juga melakukan pelanggaran serupa. Pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa kapal-kapal nelayannya berhak untuk berlayar dan coast guardnya berhak berpatroli di area nine-dash line. Sementara itu, pemerintah Indonesia tidak mengakui nine-dash line dan menganggap Tiongkok telah melakukan pelanggaran di wilayah ZEE Indonesia.

Pemerintah Indonesia menegaskan kepada dunia internasional bahwa Indonesia tidak memiliki klaim sengketa di LCS dan tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Tiongkok. Di bawah pemerintahan Joko Widodo, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menanggapi klaim Tiongkok yaitu melalui strategi diplomasi dan penyiagaan kekuatan militer di wilayah Laut Natuna Utara. 

Strategi diplomasi yang dilakukan antara lain dengan mengirimkan nota protes kepada pemerintah Tiongkok, mengirimkan nota diplomatik ke Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), mengadakan rapat kabinet terbatas di atas kapal, dan meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) versi baru dengan penamaan Laut Natuna Utara. Terkait dengan penyiagaan kekuatan militer, Presiden Joko Widodo menginstruksikan TNI AL, TNI AU, dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk meningkatkan operasi penjagaan secara intensif di wilayah Natuna.

Upaya-upaya tersebut perlu diapresiasi, namun perlu dicatat bahwa hal tersebut belum mampu menyelesaikan masalah strategis terkait klaim dan tindakan asertif China di wilayah Laut Natuna Utara. Oleh karena itu, perlu strategi yang komprehensif di level internal pemerintah Indonesia dan upaya diplomasi pertahanan di level multilateral. Secara internal, koordinasi dan sinergi antar lembaga pemerintah terkait seperti TNI AL, TNI AU, Bakamla, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polri, Kemenko Polhukam, dan pemerintah daerah, dalam melakukan pengawasan dan menjaga keamanan di wilayah Laut Natuna Utara perlu ditingkatkan. 

Hal ini bertujuan agar semua lembaga mempunyai pemahaman yang sama terkait isu tersebut dan meminimalisir munculnya ego sektoral yang dapat menghambat kerja di lapangan. Pemerintah Indonesia juga dapat bekerja sama dengan lembaga penelitian dan membangun dialog dengan perwakilan masyarakat Natuna seperti tokoh masyarakat atau nelayan untuk mendapatkan gambaran yang terjadi di lapangan dan mempertimbangkan rekomendasi kebijakan yang diusulkan.

Selain meningkatkan kapabilitasnya secara internal, Indonesia juga perlu melakukan diplomasi pertahanan terutama dengan claimant states lainnya di ASEAN dan Tiongkok, baik secara bilateral maupun multilateral melalui mekanisme ASEAN. Misalnya, Indonesia dapat melakukan latihan militer bersama dan patroli bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan dalam mengantisipasi meningkatnya tensi di LCS. 

Kemudian, Indonesia dapat memanfaatkan forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF), East Asia Summit (EAS), ASEAN Plus Three, dan ASEAN-China Summit untuk berdialog dengan China mengenai isu LCS dan mempercepat proses negosiasi Code of Conduct (CoC) yang substantif dan actionable. Dengan melakukan dialog secara multilateral, posisi tawar Indonesia lebih tinggi dibandingkan hanya melakukan dialog secara bilateral dengan Tiongkok.

Penting bagi Indonesia untuk terus bersikap tegas dalam menegakkan hak berdaulatnya di Laut Natuna Utara karena berkaitan dengan kedaulatan dan integritas wilayahnya. Indonesia perlu terus menunjukkan kehadirannya sebagai negara secara permanen di wilayah Laut Natuna Utara untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh pihak eksternal. 

Dengan memanfaatkan posisi Indonesia sebagai de facto leader di ASEAN, upaya diplomasi pertahanan penting untuk membangun rasa saling percaya (confidence building measures) dan mengurangi ketegangan di kawasan LCS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun