Mohon tunggu...
Tara
Tara Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Antara Moral dan Nafsu Kekuasaan

25 September 2018   02:08 Diperbarui: 25 September 2018   03:27 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Momen pesta demokrasi 5 tahunan (pilpres) ini memang selalu menjadi ajang kontestasi kelompok-kelompok politik untuk berupaya menduduki kursi kekuasaan dengan mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden, serta calon-calon kepala daerah. Namun, tentu saja mereka harus ingat dan sadar bahwa yang terpenting dari semua itu adalah memberikan pembelajaran politik untuk masyarakat, bagaimana cara berdemokrasi yang sehat dan tidak melakukan hal-hal yang dapat menciptakan benih konflik antar sesama anak bangsa. Sehingga, keutuhan dan kemajuan NKRI lah yang menjadi tujuan dan cita-cita bersama.

Saat ini, sentimentil agama dijadikan kesempatan oleh mereka untuk dikemas dan digiring menjadi kekuatan basis dalam target pemenangan calon. Islam, merupakan agama yang jumlah pengikutnya mendominasi di republik ini. Tak heran kalau elite politik berlomba-lomba mengakomodir suara kelompok Islam untuk dijadikan modal utama pendukung calon Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan kita tau ada salah satu calon Presiden yang memilih wakilnya dari kalangan ulama. Strategi ini tentunya akan sangat jitu untuk meraup suara umat Islam karena kedekatan emosional antar umat seagama. Hal ini sah-sah saja apabila upaya tersebut tidak melanggar aturan dan tidak keluar dari pada nilai-nilai dan norma-norma Agama. Namun, di sisi lain kita melihat masih banyak sekali cara-cara yang tidak sehat yang disuguhkan oleh oknum politik dalam cara berdemokrasi. Kita sering menemukan di media sosial penebaran berita bohong (hoax), saling fitnah, ujaran kebencian, ajakan provokatif, dan lain sebagainya. Hal tersebut tentunya sudah sangat jauh dari pada ajaran Agama, bukan hanya Islam, akan tetapi semua Agama yang ada di Indonesia ini saya rasa tidak pernah membenarkan hal-hal tersebut.

Parahnya, belum lama ini masyarakat dicengangkan dengan berita terkait pemberian gelar "Ulama" kepada salah satu Wakil Presiden yang menurut banyak orang kapasitasnya belum layak menyandang gelar tersebut. Hal ini merupakan hal yang tidak etis dan sangat keliru. Karena, tidak ada gelar ulama yang diberikan oleh satu orang atau kelompok tertentu, melainkan gelar tersebut diberikan secara alamiah oleh masyarakat luas karena kapasitas keilmuan (agama) yang layak dan telah dirasakan kebermanfaatanya oleh masyarakat. Kalau beberapa tahun lalu ramai kasus "penistaan agama", menurut saya pemberian gelar ulama kepada orang yang belum pantas disandangkan gelar tersebut merupakan bentuk penistaan agama (Islam) juga. Karena langkah tersebut tidak ditinjau dari kapasitas ilmu dan keshalihanya, melainkan adanya indikasi upaya oknum politik yang menjual simbol agama untuk meraup suara muslim dalam momen pilpres.

Tindakan tersebut tentu sangatlah tidak benar, mereka menghalalkan segala cara agar semua hajat dan tujuanya tercapai walaupun dengan cara yang menyimpang. Dampak yang terjadi ialah keresahan dan pembodohan pada masyarakat Indonesia. Di dalam pancasila, kita tahu dan hafal sila pertama berbunyi "Ketuhanan yang maha Esa". Menurut saya, sila yang pertama ini adalah bagian terpenting dalam pancasila. Kalau kita mampu menafsirkan dengan baik dan benar, maka segala macam bentuk prilaku dan perbuatan kita tidak akan mengutamakan serta menuruti nafsu sesaat atau nafsu kekuasaan. Upaya menjalankan perintah Tuhan melalui ajaran Agama akan membuat kita mampu bermasyarakat, berdaulat, berpolitik dengan -cara yang sehat. Sehingga, momen pesta demokrasi ini bukan hanya memberikan hasil yang bertujuan untuk kepuasan kelompok politik tertentu. Akan tetapi yang terpenting, para elite politik bisa memberikan pelajaran bagi masyarakat untuk mampu berdemokrasi dengan cara yang sehat dan bermartabat serta menjaga persatuan dan kesatuan antar umat seagama, sebangsa, dan setanah air. Kita berharap, dengan berpolitik yang sehat serta menjunjung tinggi kejujuran dan nilai kemanusiaan, Tuhan akan meberikan keberkahan, kekuatan, dan kesejahteraan kepada bangsa Indonesia yang kita cintai.

Oleh : Cokky Guntara

Mahasiswa Institut PTIQ Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun