Jangan-jangan saya seperti petugas pengurus jenazah itu mulai menyangkal kepedihan itu. Rasa gentar mulai melandaku. Jika perasaan menyangkal itu akhirnya membuat kita apatis untuk mencari cara untuk mencegah kematian dini bagi pekerja migran lalu pasrah pada iman yang fatalistik bahwa ini karena Tuhan yang panggil mereka, membebaskan mereka dari kesakitan dan penderitaan. Lalu agar tidak ditimpa rasa berdosa (guilty feeling) kita berkata bahwa jalan berisiko ini adalah pilihan mereka dengan risiko ditanggung sendiri.
Lalu ingatan saya tertuju pada pernyataan kontroversi Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor B. Laskodat. "Ini kan akibat mereka yang mau menjadi TKI ilegal. Jadi kalau mereka meninggal di sana, ya sudah kita tinggal kubur saja mereka, mau apalagi," kata Viktor kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019)"
Bagi saya ini merupakan ungkapan yang menyatakan beberapa hal: pertama, Penyangkalan. Penyangkalan terhadap kepedihan rakyat yang tak memiliki kekuatan untuk memilih jalan kehidupan dalam migrasi kerja kecuali menyerah pada para mafia berkuasa dan berduit yang mengirimkan mereka bekerja menempuh jalur nonprosedural.
Viktor sebenarnya sedang meratapi kepedihan itu di ruang sempit kantornya. Tetapi ketika dia keluar ke publik dia harus menyangkal ratapan itu dengan ungkapan di atas.
Kedua, Putus Asa. Â Ungkapan ketidakberdayaan sebagai anak Nusa Tenggara Timur yang diberi mandat sebagai Orang Nomor Satu untuk mengatur, mencegah dan melindungi rakyatnya. Rakyat yang nekad memilih "jalan kematian" untuk bertahan hidup karena memang kerja para aparat terutama mulai dari RT, RW, Camat, Bupati, dan aparat pada dinas dinas terkait di bawahnya tidak tanggap dan terampil, bahkan masih terlena dengan kedudukan politis pasca Pilkada.
Hal yang sama terjadi juga dengan lembaga legislatif yang geraknya lamban bila disejajarkan dengan gencarnya "mafia gaya baru" Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Akhirnya kalah dengan konspirasi mafia penjualan manusia yang mulai beralih modus kejahatan.
Dalam penanganan korban perdagangan orang, kami temukan bahwa pemain lama yang sudah pernah dipenjara kini kembali bermain dengan modus baru yang tidak diantisipasi dengan sasaran rakyat yang terdesak kebutuhan akan uang tunai untuk hidup.
Pernyataan ini merupakan ungkapan jujur seorang gubernur yang putus asa dan kehilangan cara untuk mencegah lalu pasrah pada kekuatan kejahatan itu yang sudah terjadi sejak periode periode yang lalu padahal dia adalah 'petarung hebat' yang pantang terhadap putus asa.
Betapa bahayanya bila seorang petarung yang diberi kekuasaan untuk bertarung baik oleh rakyatnya maupun oleh Tuhannya tiba pada kulminasi keputusasaan justru akan berimbas pada semakin terbuka dan meluasnya ruang kematian bagi rakyatnya.
Menurut Penulis, putus asa adalah pergumulan iman seorang warga gereja yang diutus untuk memimpin rakyatnya. Sebuah ungkapan yang ikut mempertanyakan peranan gereja, peranan agama agama yang umatnya berlalu lalang di "jalan kematian. Membiarkan para pemimpin rakyat menjadi putus asa. Menyangkal kepedihan rakyatnya bahkan sebagian dari mereka justru adalah pelaku tamak dari perdagangan manusia. Sebuah pertarungan iman bagi peradaban Nusa Cendana dalam konteks proklamasi Kerajaan Allah yang mengandung makna Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.
Sambil membatin saya melangkah bersama teman teman yang melayani penjemputan jenazah Pekerja Migran bersama keluarga duka berdiri di antara 2 ambulans yang berisikan 2 peti jenazah. Kami memanjatkan doa pada Sang Pencipta.