Manchester City: Mencoba Bangkit
Narasi tentang Manchester City sesungguhnya tidak jauh berbeda, terlebih soal usaha membangun kejayaan dengan uang. Bedanya, Chelsea sudah mampu merepotkan lawan sejak kedatangan Abramovich, sementara Manchester City perlu waktu lebih untuk menjadi juara di Inggris. Dua tahun sejak kedatangan Sheikh Mansour yang mengambil alih klub dari Thaksin Shinawatra, Manchester City berada di urutan ke-5 klasemen akhir musim 2009/2010. Semusim berikut, The Citizens naik ke peringkat ke-3, dan berhak tampil di UEFA Champions League musim berikutnya. Musim berikutnya, diiringi 'orgasme' hebat Martin Tyler selama menjadi komentator, Sergio Aguero memaksa Sheikh Mansour bertepuk tangan girang dan seluruh pendukung City meluapkan kegembiraan di tengah lapangan. Sebuah kekuatan baru saja muncul di Inggris hari itu: Manchester City.
Keberhasilan Manchester City menjadi salah satu kekuatan menakutkan di Inggris tentunya tidak terlepas dari gelontoran dana dari uang minyak Arab. Pemilik klub tidak takut membayar mahal para pemain bintang yang sudah jadi. Kekuatan ekonomi tersebut mejadi salah satu faktor berkembangnya tim biru langit, dengan uangnya, mereka bisa mendatangkan para pemain hebat dan menggaet pelatih berkelas. Sekalipun kerap dicibir sebagai tim instant, toh uang sang Sheikh juga memperkenalkan nama-nama seperti Jadon Sancho, Angelino, Brahim Diaz, Kieran Trippier, Kasper Schmeichel, hingga Phill Foden sebagai produk binaan terbaik akademi Manchester City.
(Hal yang sama juga terjadi dengan Abramovich dan Chelsea. Uang orang kaya dari Rusia itu telah mendanai program pemain muda Chelsea. Dampak itu mulai dirasakan sekarang, dan dari akademi Chelsea, kita mengenal nama-nama seperti Andreas Christensen, Reece James, Tammy Abraham, Billy Gilmour, Callum Hudson-Odoi, Nathan Ake, hingga Mason Mount.)
Kehadiran dan keinginan Sheikh Mansour untuk membangun kejayaan di Inggris menjanjikan persaingan baru di liga dan memberi warna tersendiri untuk derby Manchester. Sejak sang Sheikh memilikinya, prestasi di liga meningkat. Di kompetisi domestik, Manchester City mulai mengoleksi banyak piala. Pemain-pemain bintang didatangkan dengan mudah ke Etihad. Mansour memang tidak seperti Abramovich yang tidak sabaran dan ringan tangan untuk memecat para pelatih ketika Chelsea sedang dalam peforma buruk. Namun, sebagaimana hasrat Roman Abramovich di Chelsea, Mansour pun ingin merasakan hangatnya memeluk trofi UCL untuk pertama kalinya.
Memiliki uang yang banyak, pemain bintang, dan pelatih beken (Roberto Mancini, Manuel Pellegrini, dan kini Pep Guardiola) rupanya tidak serta merta menjadikan Manchester City  berjaya dan melenggang bebas. Musim 2011/12, City tak sanggup lolos ke babak 16 besar dan berakhir di babak gugur Liga Eropa. Semusim kemudian, mereka gagal total dan pamit dari UCL tanpa sekali meraih kemenangan. Selama dua musim berikut (2013/14 dan 2014/15), langkah mereka terhenti di babak yang sama (16 besar) dari lawan yang sama, Barcelona. Sementara untuk musim-musim selanjutnya, mereka selalu lolos ke fase knock-out dan tiga kali kandas di babak perempatfinal.
Pencapaian tertinggi terjadi pada musim 2015/16 ketika mereka mencapai babak semifinal. Dalam laga melawan Real Madrid tersebut, City punya peluang besar untuk tampil di final UCL untuk pertama kalinya. Duel itu ibarat perang bintang, dan kemenangan Real Madrid sekali lagi menegaskan bahwa klub yang secara tradisional 'sudah besar' (secara historis, ekonomi, dan mental), apalagi di ajang sekelas UCL, tidak mudah dikalahkan oleh tim bermateri pemain hebat hasil belanjaan. City sendiri sanggup bermain imbang pada leg pertama, tetapi sayangnya, mereka harus lapang menerima kekalahan tipis 1-0 dari klub Madrid tersebut akibat gol bunuh diri Fernando.
Telah bertahun-tahun, Manchester City telah menjadi salah satu kekuatan besar di UCL, tetapi mereka kerap keok dari klub-klub tradisional di ajang ini. Pengalaman mereka di Eropa tidak sesarat Real Madrid, AC Milan, Bayern Munchen, atau AC Milan. Namun, secara perlahan, bermodalkan pemain yang mulai loyal (dan siap menjadi legenda klub), gelontoran dana, pemain akademi, dan dukungan pelatih yang sudah berpengalaman di ajang Eropa, Manchester City tengah membangun sejarah dan kejayaannya di level Eropa. Sebagaimana Chelsea, transformasi Manchester City butuh hingga akhirnya berada di final, dan tinggal selangkah lagi mendapatkan trofi UCL untuk pertama kali.
Final UCL musim ini (2020/21) tidak sekedar mempertemukan sebelas lawan sebelas, tetapi juga pertaruhan dua pelatih beken. Thomas Tuchel membangun kembali Chelsea yang berantakan di awal musim, baru sekali kalah, menyingkirkan Real Madrid di semifinal, dan merupakan finalis UCL musim lalu; sementara Pep Guardiola, berada di puncak klasemen liga dengan selisih poin lebar, berpengalaman di UCL dan sudah memenanginya dua kali. Chelsea yang telah mengalami 'terpelesetlah dahulu, juara kemudian' ingin menjadi raja Eropa untuk kedua kalinya, sementara City ingin menggapai puncak untuk pertama kalinya dari sekian perubahan yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Apakah Manchester City sejatinya sudah terpeleset pada semifinal UCL 2015/16 lalu dan kini siap menjadi juara baru, ataukah harus 'terpeleset' di final lebih dulu (seperti Chelsea) lalu menjadi jawara di tahun-tahun berikut? Menarik untuk ditunggu.