Zlatan Ibrahimovic ibarat wine berkualitas, makin tua makin nikmat, makin tua makin menggila. Bagi Zlatan, di atas lapangan, usia hanyalah angka. Selebihnya tergantung performa, kerja keras, dan konsistensi. Dan tentu saja: keberuntungan (sesuatu yang jarang menyentuh Zlatan, teristimewa trofi Liga Champions).
Zlatan adalah tipikal 'singa', petualang sejati. Dan petualang sejati butuh keberanian tingkat tinggi. Ia berani tinggalkan klub untuk membela klub rival (dari Juventus ke Inter Milan, dari Inter Milan ke AC Milan).
Di Barcelona, ia tidak segan menyindir pelatih sekelas Pep Guardiola. Di Paris, sepotong kalimat ringkasnya I came like a king, left like a legend tampaknya sudah merangkum segala kemasyuran sang 'emas Balkan'. Di Amerika, ia 'menghadiahi' dirinya sendiri untuk LA Galaxy.
Di atas lapangan, Zlatan bisa memukul siapa saja. Ia tidak takut dihadiahi kartu kuning demi sebuah tamparan akibat kakinya diinjak. Ia tidak takut diusir wasit bila sikutan balas dendamnya mendarat telak di pipi lawan setelah ia dilanggar.
Fisiknya kuat dan kokoh. Latihan taekwondo pula. Siapa yang berani mengganggu kenyamanan Zlatan? (Tangan kiri rumah sakit, tangan kanan kuburan!)
Di depan media, Zlatan begitu arogan, angkuh, bermulut besar. Berbicara seenak lidahnya, dari Zlatan seperti Benjamin Button di dunia nyata hingga piala dunia tidak akan seru tanpa Zlatan, dari Zlatan adalah Ferrari tapi Guardiola mengendarainya seperti Fiat hingga keinginan untuk membeli sebuah hotel di Paris apabila ia dan keluarganya tidak mendapatkan apartemen.
Dan jangan lupa pula dengan if you want to me to be the bad guy-nya yang sempat viral di media sosial, tampak seperti quotes berkelas, mengajak penggemarnya (dan pembencinya) untuk menjadi diri sendiri. Namun, tidak seperti lord lainnya (terutama lord Bendtner dan lord Vidal) Zlatan selalu mengimbanginya semua bacotannya dengan penampilan bagus di lapangan.
Semua atribut-atribut yang dimiliki Zlatan ini membuatnya begitu dikagumi, bahkan dihormati dan disegani, serentak dibenci dan dan kerap dicaci.
Sepintas, sangat sulit untuk melihat Zlatan menangis. Namun, 'kekokohan' Zlatan itu bisa saja runtuh seketika kala pria jangkung asal Swedia itu mulai bersentuhan dengan cinta, teristimewa tentang orang-orang terdekatnya: keluarga.
***