PENDAHULUAN
Sekitar awal dasawarsa 1960-an, Menteri pendidikan dan kebudayaan Dr. Prijono menciptakan kata "Pariwisata". Menurut salah satu tokoh industri kepariwisataan di Indonesia, Nyoman S. Pendit, pada masa itu Prijono erat bekerja sama dengan Sultan Hamengkubuwono IX, yang mendirikan kementrian khusus yang mengatur perjalanan dan pariwisata. Kemungkinan besar dalam penciptaan kata baru itu mereka berunding dengan presiden Soekarno, yang cukup akrab dengan Prijono. Kata baru itu menggunakan "tamasya". Yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia untuk perjalanan dan bersenang-senang, bukan perjalanan dengan maksud politik atau ekonomi tertentu.
Dengan memilih kata "pariwisata", Prijono dan koleganya ingin juga mengganti kata yang merupakan warisan zaman Hindia Belanda, "toeristen." Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Indonesia harus melewati paradigma kolonial. Salah satu unsur di dalam paradigma itu adalah pemikiran di mana tanah dan air merupakan milik penjajah. Dalam kegiatan toeristen zaman Hindia Belanda, orang berkulit putih, baik dari Belanda maupun negara Eropa lain atau Amerika, mendapat kedudukan yang lebih tinggi dalam pandangan serta kekuasaan ideologi.
Dalam kehidupan manusia, pariwisata merupakan salah satu kegiatan penting, terutama bila dikaitkan dengan kebutuhan manusia. Ahli psikologi Amerika, Henry A. Murray menjelaskan bahwa motivasi orang melakukan kegiatan pariwisata adalah karena kebutuhan dan akan keberhasilan, pelestarian, pengakuan, pamer, dominasi, otonomi, perbedaan, agresi, berkelompok, permainan, pengetahuan, dan mengatasi kelemahan. Teori Murray ini lebih rumit dari pada teori hierarki Abraham Maslow berupa kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan, mewujudkan diri, mengetahui dan memahami.
Pakar analisis kuantitatif Australia Clive L. Morley (1990) melihat kegiatan pariwisata merupakan jaringan antara beberapa unsur dasar yaitu wisatawan, perjalanan, dan pihak lain. Pihak lain ini adalah pemerintah, masyarakat serta pihak yang secara tidak langsung terlibat. Sementara itu kegiatan pariwisata yang berhubungan dengan kegiatan perjalanan, menurut penggagas konsep suistainable tourism dari Swiss Jost Krippendorf (1987) memiliki manfaat untuk pemulihan dan pembaruan jiwa, kompensasi dan integrasi sosial, pelarian, komunikasi, kebebasan, kebahagiaan, dan perluasan wawasan.
RINGKASAN
BAB 1. PENDAHULUAN
Kegiatan pariwisata Hindia masa Belanda tidak hanya merupakan kebijakan dari atas ke bawah (pemerintahan ke masyarakat). Pada masa Hindia-Belanda kegiatan pariwisata dipelopori oleh partisipasi masyarakat yang menjadi peletak dasar kegiatan pariwisata. Fasilitas berupa akomadasi (hotel, Pesanggrahan) di beberapa kota tertentu di Jawa dan wilayah lain, infrastruktur untuk transportasi (jalan raya, jalur kereta. Stasiun kereta, pelabuhan) sudah ada. Namun, fasilitas tersebut semula bukan ditujukan khusus menunjang kegiatan pariwisata. Demikian pula dengan potensi objek wisata di beberapa wilayah tertentu, seperti di Jawa, Sumatra berupa objek alam (pegunungan, air terjun, danau), bangunan kuno (candi, keraton, benteng, gereja), budaya. Semua itu dapat ditemukan dalam buku catatan perjalanan para pengunjung pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
BAB II. Hindia-Belanda dalam Catatan perjalanan dan Buku Panduan Pariwisata (1891-1908)
Pariwisata berkaitan erat dengan perjalanan dan mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam bab ini dibahas catatan perjalanan serta buku panduan pariwisata pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Selain sumber arsip atau laporan resmi dari pemerintah, catatan perjalanan dan buku panduan merupakan sumber informasi penting mengenai Hindia. Catatan perjalanan dan buku panduan yang dihasilkan oleh masyarakat umum dapat menjadi sumber penyeimbang. Catatan para pengelana terhadap wilayah mana saja yang dikunjungi dan pola perjalanan mereka pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Demikian pula objek-objek yang menjadi perhatian para pengelana tersebut sebelum menjadi objek wisata. Wilayah dan objek yang disebutkan dalam catatan perjalanan mereka, kemudian dimasukkan dalam buku panduan wisata. Buku panduan tersebut kelak menjadi pegangan para wisatawan yang berkunjung ke Hindia-Belanda.
BAB III. Embrio Pariwisata di Hindia-Belanda (1891-1908)