Peribahasa Inggris ini sangat tepat menggambarkan yang sedang aku alami sekarang. Dalam Bahasa Indonesia kurang lebih pada dasarnya berarti: rasa penasaran bisa memberi kita masalah besar. Menjelang pemutaran perdananya pemberitaan dan promosi AADC2 terasa lumayan heboh di media online Indonesia.Â
Pelan tapi pasti headlinenya membuatku ingin tahu lebih jauh tentang AADC. Good job buat Miles Production. Pertanyaan standard investigasi seperti what, why, how dan sebagainya pun memenuhi pikiranku. Meski film itu dirilis February 2002, tapi sekalipun aku tidak pernah menontonnya, padahal waktu itu ragaku masih di Jakarta..... tapi jiwa sepertinya sudah tidak lagi, juga tuntutan keadaan waktu itu.... di bawah sadarku menghindari genre film sejenis itu. Berbekal penasaran sekaligus males juga karena skeptis terhadap film Indonesia, akhirnya riset kecil tentang AADC itupun aku mulai. Start awal yang paling tepat adalah Wikipedia, berlanjut ke Youtube dan artikel-artikel jadul tentang AADC di internet.Â
Akhirnya aku tonton juga di Youtube, kalau boleh jujur awalnya banyak adegan yang harus di skip dan skip lagi dan lagi kerena lebih pada ingin tahu endingnya dan aku pikir harus puas saja dengan ending itu. Tapi nasib berkata lain......itu ending ternyata open ending yang justru membuat hati penasaran, penonton dibiarkan berimajinasi akan kelanjutannya, dengan kata lain film itu tidak selesai dengan setuntas-tuntasnya alias menggantung.Â
Ini lebih mirip dengan tipikal kebanyakan film-film dan karya sastra British, jangan-jangan karena Riri Riza salah satu produser film ini  pernah sekolah screenwriting di Inggris jadi terbawa cara mereka berpikir. Film AADCnya sendiri dari segi ceritanya termasuk film kategori biasa saja, dinamika yang ditawarkan bisa ditebak arahnya kemana, tapi ada dua poin yang membuatnya menjadi tidak biasa,yaitu kepiawaian pemainnya ( atau sutradaranya?) dan yang tadi itu: endingnya.This is when the problem begins.
Penasaran bukanlah rasa yang paling menyenangkan buatku, biasanya apapun ku lakukan demi  segera membebaskan hati ini dari rasa itu. Tapi in this case..... bagaimana bisa?. Hanya ada dua pilihan saja rupanya. Yang pertama menonton pemutarannya di bioskop di Indonesia, dan yang kedua menunggu rilis DVDnya. Pilihan pertama sudah pasti tidak mungkin, dan ya sudahlah dengan berat hati kuakui .....tinggallah opsi yang kedua, yang notabene sangat menyiksa karena harus menunggu dalam waktu yang tidak sebentar.Â
Sejak hari pertama rilis di bioskop sampai  sebulan setelahnya ruang di kepala ini seakan terbagi dua, setengahnya penuh dengan nyanyian AADC2 bercampur dengan ketidaksabaranku, frustrated, dan sebagian lagi yang bisa difungsikan untuk aktifitas sehari hari. Cukup mengkhawatirkan sebenarnya, ibarat orang berjalan hanya dengan satu kaki.Â
Seakan ujian itu belum cukup, ulah para spoiler yang dengan bangganya meng-upload  penggalan2 rekaman film dari bioskop ke instagram dan youtube menambah parah keadaan. Syukurlah hampir seluruhnya sudah di block, makanya tidak bisa di akses lagi.  Pada saat yang sama diam-diam harus aku akui itu jadi sedikit mengobati rasa penasaranku.Â
Dari merekalah aku tahu ending AADC2, hasil "mengais" video AADC2 di instagram dan youtube . Tidak ada salahnya berterimakasih kepada mereka, toh berterimakasih in itself is not a crime. Mengenai yang mereka perbuat.......that is another matter! Dan dari merekalah kini aku sudah masuk fase berdamai dengan nasibku yang harus menunggu DVDnya di rilis.
Home, 10 June 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H