Setelah alarm handphoneku membangunkanku dengan paksa di pagi yang cerah tanggal 24 Juni 2016 , aku check BBC website dan dikejutkan oleh hasil referendum yang diadakan pada hari sebelumnya. Referendum itu untuk memutuskan apakah Inggris tetap menjadi anggota European Union (EU) atau keluar yang dikenal dengan Brexit (British Exit). Tidak kusangka keputusan keluar adalah suara mayoritas. Hampir semua survei sampai sehari menjelang referendum mengatakan bahwa mayoritas masyarakat menginginkan untuk tetap di EU. Sekali lagi lembaga-lembaga survei membuktikan bahwa mereka tidak pantas dipercaya sejauh ini.Â
Salah satu contoh yang belum hilang dari ingatan adalah survei waktu pemilihan umum setahun lalu yang menempatkan partai buruh sebagai pemenang padahal pada kenyataannya rakyat lebih memilih partai konservatif. Juga tentang prediksi pertumbuhan ekonomi yang membuat suasana suram seakan tidak ada harapan. Berbagai analisis dengan kerumitannya di jabarkan untuk memprediksi apa yang akan terjadi tetapi kenyataan mengungkap sebaliknya. Aku rasa sudah seharusnya lembaga-lembaga survey itu merenungkan dan mengkaji kembali apa yang salah sehingga lagi-lagi harus menanggung malu. Salah maning......salah maning.Â
Berdasarkan survei-survei itu aku sudah berpasrah diri bahwa Inggris akan tetap menjadi anggota EU. Tapi itu tidak menyurutkan langkahku untuk datang ke tempat pemungutan suara di dekat rumahku hanya sebagai penenang hati bahwa aku telah menggunakan hak suaraku sebagai bagian dari proses demokrasi. Aku pribadi telah membuat keputusan berdasar pengamatanku sendiri bahkan sejak lama sebelum pak David Cameron mengemukakan ide referendum. Memang menjadi anggota EU memberikan kemudahan bagi Inggris untuk berdagang dengan pasar tunggal Eropa yang beranggotakan 28 negara yang berpenduduk kurang lebih 500 juta. Sebuah pasar yang besar dimana kalau bisa menguasainya tentunya kemakmuran akan menjadi jaminan. Selain itu kemudahan  berkunjung ke negara-negara anggota EU tanpa visa, tinggal menunjukkan pasport saja sudah boleh masuk. Lapangan pekerjaan menjadi lebih terbuka karena investasi yang datang dari EU dan sebaliknya. Juga harga barang kebutuhan sehari-hari menjadi murah karena didatangkan dari negara-negara anggota EU yang rata-rata biaya hidupnya lebih murah dari Inggris. Tapi semua kemudahan itu tidak di berikan dengan cuma-cuma.Â
Ada kontribusi dalam bentuk uang yang tidak sedikit. Inggris adalah kontributor terbesar ketiga setelah Jerman dan Perancis. Juga EU sekarang bukan lagi hanya kerja sama perdagangan saja tapi sudah menyerupai sebuah negara besar atau "superstate" yang berpusat di Brussel. Di dalamnya terdapat parlemen, undang-undang, lembaga yudisial, bank sentral, dan mata uangnya sendiri. Kedudukannya adalah lebih tinggi dari kedaulatan negara-negara anggotanya. Setiap anggotanya harus mematuhi aturan di dalamnya kalau tidak akan ada sangsi bahkan denda. Sedangkan aturan dan keputusan itu seringkali berseberangan dan tidak menguntungkan negara anggotanya dalam hal ini Inggris.
Rakyat Inggris  sudah terbiasa didengar dan terbiasa membuat keputusan untuk dirinya sendiri di dalam semangat demokrasi atas dasar perhitungan baik dan buruk untuk negaranya. Di bawah EU membuatnya tidak bisa menentukan hal tersebut karena segala peraturan dihasilkan oleh mereka yang duduk di kursi banyak komite di Brussel. Siapa yang duduk di sana aku yakin menjadi misteri bagi rakyat Inggis. Sebagai rakyat mereka hanya bertugas menjalankan aturan itu. Di sini aku melihat tidak ada gunanya sebuah negara itu ada kalau tanpa kuasa untuk menentukan apa yang baik dan tidak untuk dirinya sendiri. Setiap negara bersama rakyatnya ibarat  seorang individu adalah "unique" yang di dalamnya terdapat dinamika demokrasi yang harus di hargai. Suara rakyat sangat penting di dengar karena pada hakekatnya rakyat adalah penentu arah kemana sebuah negara menuju, bukannya politisi ataupun pemilik modal yang seringkali hanya mementingkan keuntungan dirinya sendiri.
Mungkin benar dan logis prediksi para ekonom dan pelaku bisnis bahwa keluarnya Inggris dari EU akan membawa Inggris merugi dan hancur secara finansial seperti yang digembar-gemborkan selama masa kampanye dari kubu pro EU menjelang referendum. Mungkin benar Inggris akan  kacau balau setelah Brexit, juga mungkin benar bahwa EU akan mempersulit semua proses negosiasi termasuk perdagangan sampai Inggris menangis darah akibat perceraian dengannya. Tetapi untukku inti dari semua ini adalah mengambil kembali kekuasaan yang seharusnya dipunyai oleh sebuah negara bersama rakyatnya untuk menentukan nasibnya sendiri...good or bad. Mengapa perjanjian perdagangan harus melebar mengintervensi pembuatan keputusan di dalam sebuah negara? Adakah agenda yang tersembunyi di balik semua ini? Jawaban yang ada tidak begitu jelas. Dan pada tanggal 23 Juni 2016 mayoritas rakyat Inggris telah memilih....lebih baik sendiri dengan segala resikonya daripada menikmati kemakmuran tetapi kebebasannya terbelenggu. Jalan ke depan memang terlihat begitu panjang, terjal, berliku dan menakutkan, tetapi semoga Inggris tetap teguh di dalam filosofinya: KEEP CALM AND CARRY ON!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H