Mohon tunggu...
Maria Ulfa
Maria Ulfa Mohon Tunggu... -

Perempuan yang sedang berjuang keras merampungkan studinya di Fakultas Sastra Inggris Universitas Jember. For more detail, visit her page in www.letirayamada.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hantu Laut

15 Mei 2011   09:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Membilang kemilau bersama takjub di tepian hunian terumbu, sesekali dahi mengkerut sembari mengumpat pada lelaki yang menyelinap dengan banyak tangan di beberapa petang.

Aku bangun lebih pagi di awal Januari lalu. Seolah-olah ada sesuatu yang memang membangunkanku meski aku tak tahu itu apa. Temaram ruang turut menyaksikan kebingungan ku. Tapi, langkahku lebih tegas dari apa yang menjadi ketakpahamanku.

Beberapa rupa bayangan yang mengendap-ngendap sambil melangkah buas membuatku cukup nyeri bila mengingat semua itu.

Tak ada hal lebih yang di damba siang kecuali kesejukan. Menikmati jamuan udara pantai, sesekali meletakkan penat pada sebuah kelapa muda membuat iri pada tubuh mentari yang membakar.

Aku berjalan sepanjang pantai, aku melihat sebaris penyu, kepiting kecil yang mencoba mengejarku, suara ombak yang mendebur, nelayan yang suaranya seolah-olah memanggil namaku, bunyi camar, perempuan-perempuan pemilik tubuh yang indah, hingga beberapa anak kecil yang bermain pasir. Semua itu adalah hidupku dan hidupku adalah cinta karena ruang yang aku diami adalah sumber cinta.

Pandanganku terhenti pada sebaris penyu yang sedang mengais pasir hendak menutupi telur-telurnya. Aku pandangi dari jarak lima langkah kaki, hendak mengintip bagaimana mereka begitu mengharap keturunannya lestari.

Setelah aku rasa cukup penat menelusuri pantai hingga peluh menetes, meninggalkan kubahan kecil di penampang pasir. Aku putuskan duduk di bibir pantai sembari melepas mata pada hamparan laut. Seorang lelaki melangkah lunglai kearahku, lelah juga sepertinya.

“Aku bisa duduk bersamamu?”

“kenapa tidak, silakan saja!”, ucapku disela-sela napasnya yang terengah-engah.

Tanpa disangka kami pun akrab, seolah-olah tak ada batas sebelumnya. Aku pun semakin cerewet saja, memberi tahu seluruh tempat yang aku yakin dia akan mengaguminya. Sejak saat itu kami pun sering bertemu di tempat yang sama sekedar berbagi ataupun sama-sama melepas lelah seperti saat bertemu pertama kali.

Aku memberi tahu banyak tempat, hingga pada beberapa sudut yang menyembunyikan pesona bahkan pada pori-pori pasir yang seringkali memeluk amanah penyu. Di tempat yang sama untuk kesekian kalinya kami bertemu tetapi, ada sedikit yang beda. Kali itu dia yang lebih aktif bicara hingga aku tahu nama yang menjadi miliknya. Aku tidak heran jika baru tahu namanya waktu itu, begitu pula dia. Apalah pentingnya sebuah nama untuk seseorang yang baru kita kenal jika pada tutur dan perangainya sudah bisa kita namakan sendiri walaupun tak seperti apa yang menjadi namanya selama ini. Aku rasa dia pun menganggapnya begitu.

Orang-orang memanggilnya Nelwan, seorang mahasiswa semester akhir yang sedang melakukan penelitian penyu di kediamanku. Begitu yang dia sampaikan padaku.

Selain siang yang selalu membuat kita bertemu dengan kelelahan menjadi, setiap senja pula kami bercakap, menikmati hingar senja dengan polesan jingga keemasan serta tenangnya air laut yang sesekali gelisah karena hempasan ombak. Waktu itu dia bertutur malam ini akan bermalam di rumahku, hendak meng-interview ayah yang kebetulan pengurus penangkaran penyu di kediamanku.

Malam itu pun Nelwan datang kerumah, aku turut menemuinya. Bergabung bersama obrolan-obrolan penyu serta tak lupa teh hangat untuk tamu yang sedang kehausan. Pandanganku tak bisa lepas dari Nelwan yang sesekali menulis obrolan itu pada kertas yang dipegangnya sejak pertama kali bertemu. Hingga tatapanku terhenti karena obrolan pun usai.

Entah mulai kapan aku tersihir olehnya hingga aku sering kali melamun hanya untuk mencoba mengumpulkan semua ingatanku terhadapnya.

Siang pun kembali mempertemukan kami, melewati lelah yang berkeringat. Turut memuja belai angin yang menghibur wajah-wajah kusut.

“pantai ini terlalu dirindukan nantinya, jika suatu saat ditinggalkan”, ucapnya tiba-tiba.

“siapa yang mau pergi?

Aku heran dengan tuturnya yang tiba-tiba. Tak terlintas sama sekali dia akan segera pergi. Meninggalkan rupa pantai yang dia pun nantinya akan merindukannya. Begitu pula aku yang mulai terikat olehnya. Senja itu tak biasanya kami bercakap hingga larut di tepi pantai, Nelwan juga sambil bercerita bagaimana dia bisa sampai di pantai kediamanku, hingga tak begitu lama pun dia harus pergi. Waktu itu pula dia memberikan kalung berliontin berbentuk penyu. Dia sematkan disela-sela senja yang hampir usai. Begitu halnya kisahku dengannya yang hampir selesai  Kita memang tak pernah menyatakan apa yang telah kita rasakan, tapi, apalah semua itu jika tanda (signs) sudah cukup menceritakan. Segalanya pasti berakhir baik sebuah kebersamaan sekalipun tapi, janganlah pernah melupakan semuanya sebab kau pasti akan merindu. Begitu Nelwan waktu itu bertutur. Begitu halnya penyu dan anak-anaknya pun mereka pada suatu saat akan berpisah.

Hati dan perasaanku seakan memberontak dengan apa yang menjadi keputusannya. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mencegahnya karena sejak awal dia datang dengan tujuan research penangkaran penyu.

Malam itu pun Nelwan bermalam di rumahku.

Dini hari yang tak biasa, aku bangun lebih pagi dari hari-hari sebelumnya. Aku pun tak pahami diri. Yang aku sadari hanya aku seolah-olah diarahkan pada sesuatu yang besar aku tak tahu itu apa. Aku ikuti saja selama keyakinan terus menuntunku. Beberapa bayangan berkelebat saat aku buka pintu halaman belakang. Aku kaget terpaku melihat semua yang ada di depan mata. Sembari mengendap-ngendap aku mencoba mencari tahu.

“Apa yang dilakukan orang-orang itu, petang begini tak rasional rasanya jika mereka pergi melaut, bukankah cuaca cukup buruk untuk saat ini”. Terkejut sekali saat aku mendapati mereka mengambil beberapa telur penyu. Bergegas aku masuk kembali ke rumah, hendak membangunkan ayah serta Nelwan. Aku ceritakan sekilas tentang apa yang telah aku lihat beberapa menit lalu.

Mereka pun lekas pergi keluar, orang petang itu terperanjat dengan kedatangan kami. Mereka berusaha kabur dengan beberapa telur dan penyu yang berhasil mereka tangkap. Bertepatan dengan riuh suara waktu itu, semua orang-orang pantai berhamburan keluar. Seketika saja komplotan orang petang itu berhasil kami ringkus.

Akhir-akhir itu, memang sering telur-telur penyu hilang tanpa ada yang tahu. Kejadian itulah yang menjawabnya. Sekitar 7 orang dalam komplotan itu dibawa pada pihak berwajib.

. . .

Pagi kembali bersama mentari, alam kembali menyaji mentari dengan sinarnya. Kicau burung kembali menjadi kidung pagi. Embun-embun seolah uap mimpi semalam yang bertengger di kelopak-kelopak ranum. Mentari menempel di tubuh cakrawala. Camar-camar mulai mengepak sayap-sayapnya. Riuh anak kecil berlarian di tepi pantai. Semilir angin melambaikan daun-daun nyiur yang menghijau segar. Aku temukan sosok wajah dibawah pohon kelapa yang sebentar lagi akan membuatku rindu. Aku hampiri sosok lelaki itu yang tidak lain adalah Nelwan, sembari menyeruput kelapa muda dia melihatku.

“hei, aku mencarimu sedari tadi”, ucapnya setengah girang setelah melihatku menghampirinya.

“ada apa, tidak biasanya kau mencariku?”, jawabku pura-pura tidak tahu. Pikirku dia mungkin akan mengulas cerita semalam.

“Semoga orang-orang petang itu tidak lagi mencuri penyu dan telur-telurnya itu”, benar pikirku dia memulai berkisah cerita semalam.

Perasaan alam begitu sensitif, oleh karenanya memeliharanya pun menggunakan hati, ucapnya sambil mengusap-usap punggung bayi penyu yang di pegangnya. Akhir-akhir ini dia memang sering bersamaku, mungkin karena sebentar lagi dia tidak akan bisa bersamaku lagi.

Aku pun tak ingin melewati waktu yang sepertinya tinggal sepenggal ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku akan begitu tersiksa dengan sebuah perasaan yang begitu mendalam. Aku hanya bisa bilang jika waktu begitu tega.

Aku akan sulit menemukan seorang pria yang akan mengajariku bercinta dengan alam. Selama ini aku hidup dekat sekali dengan alam, tapi, aku tak pernah tahu jika selama ini aku begitu mencintai alam. Dia yang menyadarkanku jika perasaanku terhadap alam bukanlah sekedar rasa biasa. Alam yang selama ini menjadi kediamanku, menemaniku meski dalam menangis sekalipun.

Kaki-kaki kecil penyu yang berjalan setapak demi setapak adalah sebuah beauty of nature yang tentunya bukanlah artifisial belaka. Hari-hari tak pernah kami lewatkan dengan tanpa sebuah diskusi dari hal-hal kecil.

Camar-camar berkejaran, bunyi seruling memanjakan segala, anak-anak laut kembali bersenandung, layar memulai cerita bersama laut. Aku pun hendak memulai ceritatanpanya. Buih memutih seakan memutihkan kenang nantinya.

Pagi itu kau berpamitan menitip selembar kenang dan rasa. Semilir angin seolah mengantarmu sembari mengusir rasa. Hijau yang membajui alam kembali membuatku takjub, mencoba menghiburku untuk tetap tersenyum bersama alam.

Kembali mencipta kidung dengan tembang serta melodi ombak pada palung laut. Layar-layar yang terkembang megah. Turut suara seruling pada rupa keindahan dalam suara. Aku pun kembali menemukan sumber cinta dan kembali bercinta dan bercerita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun