Mohon tunggu...
Maria Tri Handayani
Maria Tri Handayani Mohon Tunggu... -

mantan mahasiswa | none stop learning

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tonny Trimarsanto: Membingkai Realita Lewat Dokumenter

13 Maret 2013   15:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:50 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Film bukan hanya sekadar hiburan,namun mampu digunakan sebagai sarana pembelajaran, sekaligus respon dan cerminan atas realita sosial yang ada. Hal inilah yang dirasakan oleh Tonny Trimarsanto, seorang sutradara film dokumenter Indonesia.

Menekuni dunia film sejak tahun 1992, Tonny mengawali karirnya dengan menjadi penata artistik di beberapa film, termasuk film garapan Garin Nugroho. Baru kemudian ia memutuskan untuk fokus ke pembuatan dokumenter karena ia justru lebih senang di film dokumenter. Tantangan yang berbeda di setiap film dokumenter membuat Tonny semakin senang menggeluti dunia dokumenter.

“Saya pilih dokumenter karena setiap saat saya bisa belajar. Artinya gini. Ketika hari ini saya membuat tentang transeksual, saya harus belajar apa sih transeksual itu. Dua bulan lagi saya pengen bikin film tentang hutan, saya harus belajar tentang pembalakan hutan dll. Itu yang membuat saya senang karena selama ini dokumenter selalu membuat saya belajar, membuat saya tertantang. Saya ngantuk kalo gak ada tantangan.”katanya.

Ketekunannya di dunia film dan dokumenter terbukti dengan banyaknya penghargaan yang ia terima atas karya-karya yang telah dibuatnya. Festival Film Dokumenter Indonesia, Cannes International Film Festival, Miami International Film Festival, Toronto International Film Festival dan Tokyo International Film Festival adalah sederet ajang festival film yang pernah ia ikuti dan menghadiahkan penghargaan kepada karya-karyanya.

Berkaca Pada Realita

Seperti film-film dokumenter sebelumnya, Tonny kembali mengangkat isu sosial dalam film terbarunya, The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon) yang menjadi film pembuka Festival Film Dokumenter 2012. Sekilas dari judulnya, mungkin orang tidak tahu bahwa film ini bercerita tentang realita kehidupan transgender di Indonesia.

Film The Mangoes sendiri mengisahkan perjalanan Renita, seorang transgender yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun diusir oleh ayahnya. Ayah Renita yang memegang teguh agama, menolak pilihan anaknya menjadi seorang transgender.

Di film ini tergambar jelas bagaimana perjuangan hidup kaum transgender yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Perlakuan tidak adil sampaipenolakan dari lingkungan merupakan kenyataan bagaiamana kultur masyarakat Indonesia masih belum menerima keberadaan transgender.

Pemahaman masyarakat yang sempit tentang kehidupan transgender, membuat Tonny ingin membawa masyarakat untuk melihat kehidupan transgender secara lebih jelas lewat filmnya tersebut. Baginya, transgender kerap dilihat sebelah mata oleh kebanyakan orang. Padahal ada sisi lain dari transgender yang selama ini belum dilihat oleh masyarakat. “Jika anda bicara soal waria, yang anda tau kemayunya. Anda tidak tahu seberapa berat sih mereka harus mencari ekonomi, harus berhutang, harus disingkirkan dari keluarga mereka seperti itu” paparnya.

Tujuan pembuatan dokumenter bertema transgender sendiri, baginya bukan untuk mengajak orang-orang merubah persepsi mereka akan transgender. Bagi Tonny, tujuan film ini sangat sederhana. Hanya ingin membawa penonton melihat sisi kaum transgender yang belum pernah mereka perhatikan sebelumnya. “Saya tidak ingin menjadikan film ini sebagai sebuah advokasi sebenarnya. Saya tidak ingin membuat film menjadi suatu gerakan. Cuma saya ingin membawa penonton ke ruang personal mereka yang selama ini tidak pernah dikenal oleh siapa pun,” jelasnya lagi.

Lewat pembuatan film dokumenter, ia dapat melihat sebuah persoalan sosial yang sebenarnya. Pengalaman itulah yang ia bagikan kembali kepada penonton. Dalam The Mangoes misalnya. Ia dapat melihat dan merasakan keprihatinan kehidupan transgender dari sudut pandang transgender sendiri. Dari sini ia merasakan terkadang perlakuan masyarakat tidak adil bagi mereka yang sejatinya adalah transgender.

“Saya hanya merekam dengan kamera percakapan mereka. Dan kita tau percakapan mereka ya pengetahuan mereka. Pengetahuan mereka yang tidak pernah dapat sekolah yang bagus misalnya. Kalau anda lahir sebagai transeksual, anda pasti gak mau sekolah. Anda sekolah SD dibilang e bencong ebencong. Apakah anda yakin bisa sekolah terus? Kalo anda ga sekolah, Cuma sampe SD , SMP ketika itu terjadi kayak bola salju kan. Pendidikan mereka rendah. Akses ekonomi mereka semakin sempit. Yang terjadi adalah mereka hanya menjadi psk dan pegawai salon. Apakah anda pernah melihat tentara waria? Polisi waria? Pegawai negri waria? Guru waria? Pernah? Gak pernah kan. Jadi sebenarnya persoalan ini persoalan yang sangat bola salju sebenarnya. Dan kita gak sadar sebenarnya,” papar Tonny.

Uang Itu Persoalan Klasik

Layaknya proses pembuatan film pada umumnya, film dokumenter pun membutuhkan biaya yang cukup besar. Hal ini yang dirasakan kebanyakan pembuat film dokumenter, termasuk Tonny.

“Sebenarnya pengalaman ngobrol dengan teman dibanyak negara, persoalan uang itu klasik memang. Kadang untuk membuat suatu film dokumenter butuh uang yang sangat besar dan akhirnya untuk menggoalkan itu mereka cari funding, menyisihkan tabungan untuk bikin film.”ujarnya.

Untuk membuat film The Mangoes misalnya. Keterbatasan dana membuat Tonny tak mampu menyelesaikan film dalam waktu cepat. Dari tahun 2007, film tersebut baru bisa selesai diproduksi pada tahun 2012. Bersama satu rekannya, saat itu ia harus mengikuti narasumbernya selama 3 bulan di lokasi.

Sekalipun telah menghasilkan cukup banyak film dokumenter, nyatanya belum membuat Tonny berpuas diri. Kini ia justru tengah mempersiapkan film dokumenter tentang kisah suami dengan 12 istri yang diperkirakan akan selesai dalam dua atau tiga tahun mendatang.

podcast : http://soundcloud.com/maria-tri-handayani/tonny-trimarsanto-membingkai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun