Oleh :
Emmanuela Dinda Galuh Larasati Kusumaningrum
Terlihat matahari  muncul di atas perbukitan hijau desa Lumbung Kerep,  angin fajar itu membawa aroma segar dari ladang-ladang kecil yang menghiasi desa. Di tengah keheningan pagi, terdengar suara cangkul beradu dengan tanah serasa musik alam yang sangat akrab. Terlihat sosok perempuan paruh baya sibuk memanen sorgum di ladangnya. Bagi mak Marni, sorgum bukan sekadar tanaman, melainkan warisan berharga yang menyimpan harapan akan masa depan.
"Sorgum ini sudah ditanam sejak nenek moyang kami. Sejak dahulu, tanaman ini dikenal sebagai salah satu alternatif pangan lokal selain beras dan jagung, meskipun popularitasnya tidak sekuat keduanya, sehingga sorgum menjadi makanan pokok di desa ini," tutur mak Marni sambil mengikat batang sorgum dengan cekatan. Tanaman biji-bijian yang toleran terhadap kekeringan dan dapat tumbuh di tanah gersang, hal ini menjadikannya tanaman yang ideal di daerah dengan curah hujan rendah atau lahan marginal.
Negara Indonesia sungguh diberkahi dengan kekayaan alam luar biasa, selain flora dan fauna yang melimpah, negeri ini juga memiliki keanekaragaman hayati pangan yang jarang ditemukan di tempat lain. Namun, di balik kemegahan itu, ternyata masih terdapat kekayaan pangan lokal yang tersembunyi seperti sorgum, ubi, sukun, hingga gembili kerap terlupakan.
Sorgum sebagai salah satu kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Selain menjadi solusi pangan di tengah krisis iklim, sorgum juga bisa menjadi bagian dari gaya hidup sehat dan berkelanjutan. Mengenal dan memberikan dukungan terhadap sorgum, tidak hanya menjaga tradisi lokal tetapi kita juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan. Kandungan karbohidrat, protein, serat, vitamin B, dan mineral seperti zat besi dan magnesium ada pada sorgum. Sehingga jika dibuat tepung sorgum akan terbebas gluten dan cocok untuk penderita penyakit celiac atau orang yang menjalani diet bebas gluten (KEHATI, 2024)
Terlihat kesetiaan warga pada tradisi menanam pangan lokal masih banyak, ladang-ladang kecil mereka menjadi benteng terakhir melawan arus modernisasi yang mendorong ketergantungan pada beras dan gandum. Sebagian besar kawasan yang ada di desa Lumbung Kerep merupakan lahan kering berbatu kapur, sehingga sangat cocok untuk budidaya sorgum, karena sifatnya yang tahan terhadap kekeringan. Di daerah ini, sorgum digunakan sebagai bahan pangan alternatif sekaligus pakan ternak.
"Pangan lokal itu kuat, nak," kata mak Marni kepada Laras, anak gadisnya yang baru saja pulang dari kota. "Sorgum ini tidak butuh banyak air juga tidak perlu pupuk kimia, dan tahan terhadap perubahan cuaca. Kalau semua orang tahu manfaatnya, sorgum bisa jadi penyelamat saat krisis." tambahnya.
Laras kecil masih ingat betapa seringnya ia membantu emaknya membuat bubur sorgum untuk sarapan. "Hmm...lezatnya bubur sorgum ini mak, besok emak buat lagi ya?" pinta Laras waktu itu. Namun kini pola makan keluarga sudah berubah, hidangan nasi dan mie instan mendominasi meja makan mereka. Perubahan ini bukan hanya terjadi di keluarga mak Marni, tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia.
Konsumsi pangan lokal masih tergolong rendah dan belum dimanfaatkan secara optimal dibandingkan dengan pangan non lokal. Pola makan masyarakat belum sepenuhnya mencerminkan prinsip beragam, bergizi, berimbang, dan aman (B2SA), sebagaimana yang dianjurkan dalam pedoman Pola Pangan Harapan (PPH). Pedoman B2SA dan PPH digunakan sebagai acuan untuk mengukur tingkat diversifikasi konsumsi pangan. Berdasarkan panduan PPH, pola konsumsi pangan masyarakat masih memerlukan perbaikan (Asiva Noor Rachmayani, 2015)
Saat ini masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai makanan pokok. Ketergantungan ini menjadi ancaman besar terhadap keanekaragaman pangan lokal, yang lambat laun terpinggirkan.