Mohon tunggu...
Maria Silnifa
Maria Silnifa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penyuluhan pertanian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Hilanglah Diriku

21 September 2023   21:27 Diperbarui: 1 Oktober 2023   22:30 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via pexels/Ianmer Basio

Dia menatap ke arahku lagi " apa kau tau, kau sebenarnya adalah anak yang baik kan? Hanya saja kau ada masalah. 

Cerita padaku, kau adalah orang yang paling aku sukai entahlah mengapa sejak pertama kali melihatmu aku merasa kau adalah orang yang selalu datang dalam mimpiku. Hahah aneh kan" timpalnya. 

Aku mendengar ocehannya dengan acuh "aku harap kau mau menjadi bagian di hari-hari terakhirku ini". 

Hari-hari terakhir? Apa maksudnya? Ahh apa peduliku, aku juga tidak tertarik untuk menjadi bagian dari kehidupan orang lain toh hidupku juga sedang dilanda masalah serius begini.

Hari-hari berikutnya, irene semakin memperhatikanku mulai dari makan siang, cara berpakaian, nilai-nilaiku bahkan hal-hal sepele seperti gaya rambut dan sepatuku yang selalu diikatnya rapih. 

Entah mengapa aku malah nyaman dengan hal itu bahkan sampai mengajaknya kekantin bersama, pulang bersama dan nonton bioskop. 

Perekonomian keluargaku juga semakin membaik dengan ayahku yang membuka toko kecil namun ramai pengunjung, ini seperti irene adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk membuatku tak terpuruk lagi dalam jurang kekelaman. 

Suatu hari aku meminta ijin pada ayah karena aku akan pergi berbelanja dengan irene, ayah mengiyakan dan memberikan aku sejumlah uang dengan pecahan 50 ribu rupiah. Kupikir hari itu ayah sangat baik padaku, selama ini ia hanya memberikan sedikit uang padaku namun aku sangat bersyukur hari itu. 

Ketika akan sampai ke stasiun kereta aku bertemu irene, dia sangat cantik hari itu rambutnya yang hitam panjang dengan hiasan jepit bunga diatasnya membuat wajahnya kian menawan. 

Namun tiba-tiba hujan yang entah bagaimana munculnya mengguyur kami berdua, aku menyarankan irene untuk pulang kerumahku dulu sebab rumahku tidak jauh dari stasiun kereta. Ketika sampai dirumah, aku membuka pintu berwarna cokelat itu dan betapa terkejutnya aku melihat ayah sedang bercumbu dengan seorang wanita di sofa rumah kami. Aku tertegun, membeku. 

Hatiku hancur, ternyata kebaikannya hari itu hanyalah topeng muslihat yang tak ku sadari sedari tadi. Dengan sempoyongan aku berlari keluar derasnya hujan, aku berteriak sejadi-jadinya, air mataku telah bercampur dengan hujan kala itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun