Sementara, bagi pebisnis pemula yang tidak memiliki banyak modal untuk usaha, banyak bisnis daring yang membuka sistem dropship, sistem penjualan dari penjual tangan pertama yang akan mengirimkan produk ke tangan pembeli yang memesan dari penjual perantara dengan mengatasnamakan penjual perantara. Dengan sistem tersebut, penjual perantara bahkan sama sekali tidak mengeluarkan modal uang untuk membuka usaha.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh media sosial nampaknya mudah untuk membangun bisnis daring. Akan tetapi, seperti bisnis lain pada umumnya, bisnis daring juga penuh dengan tantangan yang harus siap dihadapi oleh siapapun yang menjalaninya. Penjualan melalui E-commerce dan Marketplace berhadapan dengan berbagai pesaing yang memiliki produk serupa dengan harga yang bersaing.Â
Sementara untuk mempromosikan toko dan produk serta memasang iklan di halaman depan situs harus mengeluarkan modal tanpa jaminan pasti akan adanya pengembalian yang sepadan, mengingat jumlah pesaing. Ditambah pula dengan fitur 'Diskusi', 'Chat', dan 'Review' di E-commerce dan Marketplace atau 'Comment' di media sosial memudahkan interaksi antara penjual dan pembeli yang dapat berimbas pada komentar dan timbal balik terhadap produk dan/atau jasa yang dijual.Â
Pertumbuhan jumlah pengguna media sosial aktif, di satu sisi menjadi lahan yang menguntungkan, tapi di sisi lain dapat menjadi bumerang. Hal ini dikarenakan penilaian dan testimoni dari pelanggan tidak dapat dikontrol dari pihak penjual dan dapat memengaruhi asumsi dan pendapat calon pembeli lainnya serta kinerja bisnis daring yang berdampak pada kredibilitas bisnis tersebut (Agustina, et.al., 2018).Â
Selain itu, pemanfaatan media sosial harus terintegrasi untuk menjangkau calon pembeli yang lebih luas. Misalnya, pemanfaatan media Instagram dapat digabung dengan Facebook, apalagi untuk membangun akun bisnis di Instagram juga harus terintegrasi dengan Facebook.
Akan tetapi, pekerjaan rumah terbesar bagi Indonesia adalah menyamakan ritme perkembangan teknologi yang cepat dengan pertumbuhan bisnis konvensional dan kecil seperti UMKM. Di tengah persaingan secara konvensional, bisnis UMKM masih harus berlomba dengan kecepatan teknologi informasi. Di Indonesia, UMKM masih banyak yang belum memanfaatkan teknologi internet.Â
Saat ini masih 9,6 juta UMKM yang telah beralih ke daring (Hutabarat, 2019), sementara dengan lebih dari 62 juta UMKM di Indonesia (Depkop, 2017), memperluas pasar usaha-usaha mikro ini dengan teknologi internet juga dapat berimbas pada tumbuhnya perekonomian negara.Â
Pemerintah tidak hanya harus mampu untuk mendorong pelaku UMKM bersaing di pasar digital, tapi utamanya adalah fasilitas yang mumpuni agar pelaku UMKM dapat memanfaatkan teknologi digital. Infrastruktur dan edukasi menjadi prasyarat utama bagi pelaku bisnis daring untuk naik kelas ke pasar digital di samping kreativitas dan pelayanan prima untuk menjaga kredibilitas bisnis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H