Mohon tunggu...
Maria Clarita
Maria Clarita Mohon Tunggu... Mahasiswa - ----

Mahasiswi Pendidikan Sosiologi B 2020 Fakultas Ilmu Sosial UNJ

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gambaran Kondisi Ketimpangan Pendidikan di Indonesia ditinjau dari Perspektif Fungsionalisme Struktural

26 Desember 2021   15:00 Diperbarui: 26 Desember 2021   15:11 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tujuan Pendidikan Nasional menurut undang-undang adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya tingkat kualitas pendidikan dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke harus merata. Namun, fakta di lapangan menunjukkan suatu kondisi di mana tidak meratanya sistem pendidikan di suatu wilayah dengan wilayah lainnya atau yang kita sebut sebagai ketimpangan pendidikan. Ketimpangan Pendidikan masih terlihat jelas di negara kita. Hal tersebut bisa kita lihat melalui kualitas pendidikan yang sangat kontras antara sekolah di perkotaan dengan sekolah di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal).

Survei yang dirilis Programme for International Student Assessment (PISA) sebagai standar internasional pendidikan di Indonesia pada Desember 2019 menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Memang secara keseluruhan terlihat indeks pembangunan manusia di Indonesia mengalami peningkatan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2019 mencapai 71,92 dan angka ini meningkat sebesar 0,74% dibandingkan dengan tahun 2018. Namun, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia dan ini merupakan tantangan terbesar yang harus diselesaikan pemerintah saat ini

Banyak faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendidikan seperti, kualitas lingkungan sekolah yang meliputi masyarakat dan lingkungan sekitar yang mendukung seorang anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, kurangnya tenaga guru yang berkompeten, serta fasilitas penunjang pendidikan yang masih jauh dari harapan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pernah mengatakan pada Senin (1/12) bahwa sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan.

(Alba, 2011) menjelaskan Pendidikan juga merupakan penentu arah ke mana bangsa ini akan dibawa. Jika arah pendidikannya benar dan prosesnya lurus dan ilmiah maka bangsa itu pun dapat dipastikan akan maju, arif, adil, sejahtera dan beradab.Selain itu (Usman , 2014) Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah).

Lalu bagaimana teori fungsionalisme struktural (Parsons) dalam memandang kasus tersebut? Asumsi dasar dari teori fungsionalisme struktural adalah menganalogikan seperti sebuah anatomi tubuh manusia. Bagi Parson, masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan maupun hal-hal yg sifatnya ajeg dalam masyarakat. Sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian, masyarakat bagi Parsons merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan. Teori Struktural Fungsional tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan maupun masyarakat. Talcott Parsons pernah mengemukakan dalam pengertian Sosiologi Pendidikan, yang berarti bahwa struktur dalam masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain. Pendidikan khususnya, tidak bisa dipisahkan dengan struktur yang terbentuk oleh pendidikan itu sendiri. Demikian pula, pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (Wahyu, 2006:1). Melalui ketimpangan pendidikan yang terjadi di negara kita dapat disimpulkan bahwa adanya ketidakberfungsian dari sistem pendidikan tersebut yang belum efektif dalam menjangkau pendidikan di seluruh daerah tanpa terkecuali secara merata. Bisa dikatakan, fungsional dan struktural dalam sistem pendidikan tersebut terganggu.

Pemerintah memiliki fungsi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa artinya dari pusat sampai daerah, dari Sabang sampai Merauke tingkat kualitas pendidikannya harus merata. Namun, karena ketidakefektifan dari proses kebijakan yang ada serta pemerataan teknologi dan fasilitas penunjang pendidikan yang belum maksimal menimbulkan adanya kesenjangan. Hal tersebut secara struktural dan fungsional menganggu peran atau fungsi tujuan utama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sekolah-sekolah yang berada di daerah pusat tergolong memadai sedangkan sekolah di daerah 3T mengalami ketertinggalan yang jauh sehingga ketidakstabilan tersebut menggagalkan  fungsi tujuan utama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Solusi dan Penutup

Ketimpangan pendidikan yang masih terlihat jelas di Indonesia disebabkan oleh ketidakefektifan proses kebijakan pendidikan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah. Solusi yang dapat penulis berikan terkait kasus ini adalah berangkat dari rumus yang diberikan oleh Parsons yakni Model AGIL (Adaptasi, Goal attainment, Integrasi, Latency). Melalui adaptasi, pemerintah diharapkan memahami gambaran kondisi di setiap provinsi karena kunci dari adaptasi adalah pemahaman akan lapangan dan dapat menyesuaikan pada lingkungan yang ada. Setelah memahami kondisi medan di setiap provinsi, perlu adanya fungsi pencapaian tujuan atau goal attainment. Tujuan utama dari pemerataan pendidikan adalah mencerdaskan bangsa secara nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya fasilitas atau kualitas pendidikan yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Selanjutnya adalah integrasi yakni diperlukannya sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah. Ketika sudah menjalankan tiga fungsi tersebut, maka hal tersebut harus dipertahankan (Lattent pattern maintenance) demi mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Referensi

Samad Usman. (2014). Pendidikan Melalui Penerapan Manajemen Berbasis. Jurnal Ilmiah Didaktika vol. 15

Cecep Alba. (2011). Strategi Peningkatan Mutu. Jurnal Sosioteknologi Edisi 24,

Maunah, Binti. (2016). Pendidikan dalam Perspektif Struktural Fungsional. Cendekia,10(2): 159-178.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun