Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Fiksi Mini: Sampai Di Sini

23 Januari 2025   18:45 Diperbarui: 23 Januari 2025   18:45 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Maafkan bila aku tak sabar ingin menyentuhmu
Memelukku dan membuaimu dengan kata-kata yang lembut
Entah sudah berapa lama saat-saat seperti ini aku tunggu
Hanya untuk mencintaimu dengan sepenuh hatiku
Dan sekarang aku telah menemukanmu

(Kutipan Puisi "Serunai" Karya Christina Budi Probowati)

      "Dipandang boleh, jangan disentuh," katanya sambil menghindar saat aku tak lagi mampu menahan nafsu.
        Ada pemberontakan dalam hati saat keinginan tak sampai. Apa boleh buat, memaksakannya mengimbangi birahi tak harus dilanjuti.
        "Aku mencintaimu, Sahara. Bisakah sedikit aku menyentuhmu?"
        "Memandangku sudah cukup, Damar!"
        Aku menghela nafas berat. Tak mungkin terus kumemaksanya untuk berbuat bejat. Penolakannya memang berat, serasa cintaku tak hangat.
        "Halalkan hubungan kita, Damar," katanya.
        Aku mendongak. Permintaan itu terlampau tinggi untuk saat ini. Belis meninggi, tidak diimbangi gaji. Selama ini aku nekad mencintai bermodalkan nyali. Sempat berpikir untuk memiliki, hanya saja persiapan belum tinggi.
       "Tabunganku tidak banyak, Sahara. Belis makin tak tertandingi. Bagaimana aku menghalalkan cinta ini?"
        Sahara membisu. Sebutir air matanya jatuh di pangkuan. Mungkin ia tahu, modal nyali mencintai tidak akan direstui!
        "Damar, bawa aku pergi!" pintanya.
         "Aku takut membawamu lari, Sahara," kataku.
         "Katanya mencintai?"
         "Tidak harus berlari, Sahara!"
         "Ada solusi?"
         Aku terdiam sepi. Beberapa orang menghampiri. Sahara berdiri. Aku terduduk mencoba memahami situasi. Tampang dua orang itu ngeri.
         "Jangan dekati, Sahara lagi!"
         Aku tersenyum membangun nyali. Memanfaatkan keahlian bela diri, aku menghajar mereka yang berdiri. Sahara tersenyum menghampiriku.
        "Kita sudahi kisah ini di sini," bisiknya sebelum ia tak sadarkan diri sampai menghembuskan nafasnya. Sebuah pisau menancap di punggungnya, menembus perut.

21 Januari 2025

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun