Sesalku menggunung, tak semestinya kubantu kau merangkai sayap itu
Kubiarkan saja kau terkapar dalam pelukan paling romantis yang kupunya
Mengajarkanmu bahasa kalbu yang nyata
Semua ingatan itu memporak-porandakan jiwa
Kini sungguh ku telah sampai di titik tanpa koma
Kau sudah masuk dalam album masa lalu
Akan ku hapus kelak buaian Desember itu
(Kutipan Puisi "Buaian Desember" Karya Novia Respati)
     Hujan mengguyur sejak pagi. Aku menjadi merindukan mentari. Sepekan ini hujan rajin berkunjung ke bumi. Tidak ada yang salah, toh musimnya hujan datang mencumbu bumi.
     "Lho, Mas Rain, pagi bener ke kampus?"
     Aku mematung memandangnya. Senyumnya sangat meneduhkan. Ia bagai sinar mentari, ah bukan, tepatnya pelangi saat gerimis.
     "Jangan lama-lama lo, Mas,  menatapku, awas jatuh cinta," godanya.
      Aku hanya tersenyum mengamini perkataannya. Kenyataannya, aku memang jatuh cinta padanya. Dialah Mona, tetanggaku. Aku terpukau padanya, itulah sebabnya aku bangun pagi. Sebab kutahu setiap pagi ia belanja di pasar dekat kampusku.
     "Ayo, bareng! Ke kampus kan?"
     Aku mendekat. Hujan  pagi itu membawa berkah. Aku bisa bersamanya di bawah satu payung kecil miliknya. Setidaknya aku merasakan aroma tubuhnya menusuk hidung. Sungguh menggoda!
    "Eh, Sayang, dompetmu ketinggalan," teriak seseorang dari belakang.
     "Ini Mas Rain, anak kos sebelah," kenalnya kepada lelaki itu.
     "Rain, ini Miko suamiku," kenal Mona.
      Aku tersedak. Aku ingin menerobos hujan. Hanya saja takut kalau ia tahu aku jatuh cinta.
     "Awas kamu, Leon," gerutuku.
     Seminggu lalu, Leon memberitahuku soal Mona.
     "Mona masih single, bro, cepetan dapatkan hatinya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H