Aku bergeming, luka-luka seperti tertikam beling. Perihnya menjalar di sekeliling tubuh. Sekujur tubuh kaku! Hujan masih mengguyur, seperti air mata yang tak terbendung.
     "Apa salahku?" suaraku lirih.
     Aku meringkuk di beranda rumah itu. Berharap pintu dibuka untuk sejenak kutatap wajahnya. Aku tahu, aku hanya bisa menatap, tidak untuk dimiliki.
    Aku melawan dingin yang menghujam tubuhku. Kucoba berdiri dengan seribu bahkan sejuta beban diri.
    "Tok...tok...," aku mengetuk pintu, berharap ia menunjukkan kepeduliannya.
     Jariku kaku mengetuk lagi! Aku memilih tetap di beranda itu. Cintaku teramat kuat dibandingkan hujan yang bergemuruh. Suara pintu berderit. Aku teramat kaku untuk menoleh.
    "Lo, kamu siapa?"
    Aku menatapnya bingung.
    "Ini rumah Cindy kan?"
    "Cindy, siapa?"
    "Cindy Anita," jawabku. Â
     "Bukan."
     "Nomor 6?" kataku sambil menunjuk nomor rumah.
     "Ini nomor 9, papan nomornya terbalik, maklum sudah tua," jawab orang itu.
     Aku malu bukan main seraya pamit pergi.
      "Rumah Cindy di sebelah. Kamu telat, pesta pernikahannya baru saja selesai," terangnya.
28 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H