Semuanya baik-baik saja. Aku merasa bahagia dan istimewa bisa mencintainya. Hanya saja, waktu memberikan keadaan sebaliknya. Awal yang manis berakhir miris. Cincin yang melingkar di jari, tak ada makna sama sekali. Pengkhianatan kuterima setelah segala cinta kukalungkan di hatinya.
    "Kamu terlalu baik untukku," bisiknya.
    "Apakah yang terbaik patut dilepaskan? Bukankah yang terbaik dipilih untuk dimiliki?" tanyaku.
    Air matanya meleleh. Isak tangis melunturkan make up wajahnya. Ada problem yang mungkin ia simpan, dirahasikannya, termasuk dariku.
     "Kumohon, pergilah!" katanya lirih.
     Aku mematung. Kuambilkan tisu, menyeka wajahnya. Aku teramat sakit melihatnya menangis. Lebih sakit, saat ia memintaku menjauh.
     "Aku mati tanpamu, Riana! Kumohon jangan memintaku pergi," pintaku.
     "Dion, please! Kamu terlalu baik untukku. Kumohon mengertilah! Pergilah!" katanya lagi dalam isak tangisnya.
     "Apa kamu memiliki laki-laki lain, Riana?" tanyaku menahan sesal.
     "Aku tidak pernah mengkhianatimu, Dion. Aku setia padamu, hanya tak ingin menyakitimu," jelasnya.
     "Kamu telah menyakitiku dengan memintaku pergi!" kataku.
    "Pergi, Dion," suaranya membahan memecah. Tidak ada lagi suara bidadari yang mengalun lembut seperti selama ini. Suara aslinya keluar.
    "Aku Rian, bukan Riana," katanya.
    Aku terperangah. Riana melepaskan rambut palsunya. Terlihatlah wujud aslinya.
5 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H