"Jika kamu mencintaiku, bangunkan aku rumah. Ah, rumah teramat mahal, gajimu sedikit. Gubuk saja," kata Maria pagi itu sesaat setelah ia menuaikan tugasnya sebagai istri, menyeduh kopi.
     "Sstt!" aku memberi isyarat kepadanya, takut ibuku mendengar.
     "Sampai kapan aku harus mengurus Ibumu. Kita punya anak yang mesti diurus, diperhatikan, dipikirkan," lanjut istriku dengan suara lirih.
     "Aku ta sanggup di sini," lanjutnya.
     "Wah, pagi-pagi romantis. Seperti pengantin baru saja," kata ibu yang tiba-tiba muncul.
     "Mantu Ibu sangat perhatian. Aku bangga, Nak Mantu. Anakku ini sejak kecil tidak biasa seduh kopi sendiri, mesti Ibu. Sekarang, tugas itu milikmu. Bangga aku, Nak mantu," kata ibuku.
     Maria tersenyum. Sontak, keramahan ia tunjukkan. Segelas teh kesukaan ibu ia sajikan. Ibu tentu bangga padanya.
     "Makasih, Nak Mantu," kata ibu.
     "Duduk dulu, Nak Mantu," lanjut ibu.
     Maria mengambil tempat duduk di sebelahku. Aku mulai was-was, barangkali ibu mendengar percakapan kami sebelumnya. Aku menghela nafas berat. Menatap wajah ibu yang kini mode serius.
     "Nak berdua, tahu kan tanah kita di ujung desa?" tanya ibu.
      Aku mengangguk pelan. Maria mulai kalap. Ia erat memegang lenganku.
      "Maafkan aku, Bu," kataku.
      "Maaf? Kamu salah apa, Nak?"
      "Berkunjunglah ke lahan kita itu," kata ibu sambil menyerahkan sebuah kunci.
18 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H