Aku menyambutmu di rumah dengan sedikit sesal. Aku tak menunjukkan sesal berlebihan, sebab cintaku lebih besar dari itu. Aku menyambutmu dengan senyum, tapi wajahmu terlihat kecut. Aku mencoba mencairkan suasana, tapi ekspresimu tetap sama.
    "Aku minta maaf!" kataku.
    Wajahmu masih kecut. Aku mendekatimu dan  bersikap romantis untuk meredam amarahmu. Itu tak mempan. Wajahmu tak beda jauh sebongkah batu. Keras!
    "Kamu egois. Rokok per hari sebungkus. Coba dihitung per bulan berapa? Setahun berapa? 840.000/bulan dikalikan 12 bulan. Bukankah menyentuh 10.080.000 ribu rupiah? Cukup kan bangun fondasi rumah?"
    Aku menghela nafas panjang. Sungguh perdebatan dan hitung-hitungan ini tiada akhir.
    "Ya. Maaf. Aku akan berhenti merokok," kataku pelan.
    "Bagaimana dengan kalung dan sepatu hag tinggiku?" jawabmu.
    "Tunggu uang rokok setahun terkumpul," jawabku.
    "Artinya tahun depan, Bang?"
    "Ya."
    Kamu terlihat kecut, tapi cantikmu tetap terlihat. Aku mendekat dan memelukmu. Aku ingin segera mengakhiri pedebatan ini.
    "Dingin, Yang," bisikku di telingamu.
    Nafasmu bergemuruh. Saat aku dan kamu akhiri ini semua dengan kemesraan.
    "Janji ya, tahun depan beli," katamu.
    Aku mengangguk,"Ayo!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H