Sudah hampir pukul 15.00, hujan terus mengguyur bumi. Tak bosan-bosannya datang, padahal tak dirindukan. Aku sampai menghabiskan dua gelas kopi sampai sekarang. Pandanganku mulai berkabut saat pelangi menghiasi hujan. Harusnya aku bersukacita, sebab pelangi terlalu indah untuk dipandang. Namun, kali ini berbeda, aku menghujat datangnya. Itu disebabkan, kisah lalu yang menyakitkan.
"Mas Ali?" perempuan muda itu memastikan.
Aku mengangguk bingung. Wajahnya tertutup kaca helm, di tambah masker di mulutnya.
"Aku, Kania, Mas," katanya saat mendapati aku masih bingung.
Serasa jantungku dihujam tombak. Sakitnya tak tertahankan. Aku mengepalkan tangan, siap mencabiknya. Ia telah menggantikan bahagiaku dulu dengan sebongkah duka.
"Maaf, Mas Ali," katanya.
"Apa katamu? Maaf?" Segampang itu?" nada suaraku meninggi.
Kania memelas. Rasanya tak tega aku membentaknya. Hanya saja, kesalahannyalah membuatku terluka. Duniaku hilang saat itu dulu. Aku belum bisa melupakan semuanya.
"Aku dulu sangat mencintaimu, Mas. Itu sebabnya aku memfitnahmu di depan Karin. Maafkan aku!"
"Kamu tega, Nia," kataku menahan tangis.
"Karin meninggalkanku," lanjutku.