Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fiksi Mini: Harapan di Tengah Keterbatasan

21 Februari 2024   09:42 Diperbarui: 21 Februari 2024   10:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

       Suara tangisan buah hatinya menggema membunuh kebahagiaan sederhana sore itu. Ayah tiba-tiba murung saat ibu mulai mengomel. Ayah mulai menyalahkan takdir, terlahir sebagai laki-laki miskin. Kopi yang diminum serasa hambar, padahal takaran gula pas. Ibu masih berceloteh.
     "Sampai kapan hidup kita begini?" ibu terus berceloteh.
      "Kita ditakdirkan miskin, Bu," jawab ayah.
      "Kamu tak berusaha merubah takdir! Sedikit-sedikit
menyalahkan takdir," ketus ibu.
      Suasana kembali mengharukan. Suara tangis memenuhi gubuk itu.
      "Mam...mam...," kata si kecil diiringi tangisan.
      "Yah, jajan, Yah," si sulung menghampiri ayah sambil menjulurkan tangannya.
       Ibu mendekat, dijewernya telinga si sulung.
       "Beras saja tidak ada uang untuk beli, apalagi jajan," teriak ibu.
        "Jangan gitu, Bu, kasihan," kata ayah.
        "Kasihan katamu? Apa tidak kasihan juga haru ini kita tak makan?" suara ibu meninggi.
       Perdebatan tiada akhir. Solusi mangkir. Ayah terduduk lemah. Ibu masih mengomel. Sulung dan bungsu kompak menangis.
      Paman Bandi tiba-tiba muncul. Sepertinya ia mendengar pertengkaran itu. Ia menatap kedua keponakannya yang terus menangis. Ia tak tega.
      "Tunggu sebentar, Paman ambilkan beras," katanya sambil berlalu pergi.
      "Apa Adikmu ada persediaan beras?" tanya ibu.
      Ayah menggeleng.
      "Tak tahu, Bu," kata ayah.
      "Barangkali ia mendapat beras bantuan dari pemerintah. Tidak seperti kita yang tak diperhitungkan negara ini," lanjut ayah.
       Paman datang dengan sekantong beras.
       "Masaklah," pintanya.
       Ibu bergegas memasak. Ayah menimang si bungsu. Paman bergegas pergi, katanya ada yang perlu ia kerjakan lagi.
       "Maling...maling...," suara teriakan dari tetangga sebelah.
       Ayah hendak mengecek, ibu melarang.
      "Tak usah keluar, jaga saja anak-anak," kata ibu.
      "Pak, apa lihat seseorang mengenakan jaket hitam, tubuh tambun lari ke sini?" tanya warga yang tiba-tiba muncul di pintu.
      "Oh, tidak. Ada apa ya?" tanya ayah.
      "Mencuri beras di kios Pak Akung," jawab mereka.
      Ibu terdiam. Ia bergegas menyembunyikan beras itu.

20 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun