"Kamu sudah dengar beritanya, Lang?" tanya temanku saat nongkrong di warung kopi.
     "Berita apa, Di? Oh, paslon dua menang?" tanyaku memastikan dan mencoba menebak.
     "Bukan, itu, tetangga kita," katanya.
     "Oh, itu ya, aku tahu. Anaknya lahir pas pemilu," kataku.
     "Tidak nyambung," kata Adi.
     Aku diam. Yang aku tahu, anak tetanggaku lahir pas pemilu, jadi tak ikut coblos.
    "Timses Pak Diki, mendatangi rumah Pak Dio. Katanya sih, mau ambil beras," jelas Adi.
    "Oh, Pak Diki bisnis beras? Politikus nyambi bisnis ya. Hebat," kataku sambil menyeruput kopi.
   "Kok kamu lelet, Lang?"
   "Lelet apanya, Di?"
   "Sebelum pemilu, Pak Diki nyumbang beras ke Pak Dio. Beras dibarter suara. Nyatanya, Pak Dio milih orang lain," jelas Adi.
    "Hasil perhitungan, suara Pak Diki nol di TPS kita" lanjut Ady.
    "Aduh, bahaya," kataku.
    "Untung aku tolak, Lang. Timses Pak Diki sempat mendatangiku," lanjut Ady.
    Ponselku berdering, pesan dari ayah.
    Lang, ada timses Pak Diki di rumah. Pulanglah, kembalikan amplop yang diberikan minggu lalu!
   Aku menghabiskan kopiku dan bergegas.
   "Di, kalau nanti pulang, singgah di rumahku ya. Bilang pada ayahku, aku pulang kalau sudah ada uang," kataku dan berlalu dengan motorku.
18 Februari 2024
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H