Aku ditemani istri, melakukan tradisi sore hari: ngopi sambil berbincang tentang bulan Februari yang menuliskan narasi lima tahun mendatang.
     "Tak ada cemilan, Bu?" tanyaku pada istri.
     Aku mengatupkan bibir, saat pandangan itu lurus ke mukaku.
     "Cemilan? Astaga, jangankan itu, beras tinggal sedikit, besok makan angin saja," celoteh istriku.
     Aku sedikit merasa bersalah. Beberapa bulan terakhir tak kerja. Biasanya serabutan untuk dapat makan. Sejak sahabatku nyaleg, aku ikut bersamanya. Tidak menghasilkan uang, justru menelantarkan istri anakku.
    "Bang Rido bagi-bagi beras minggu lalu, kamu minta aku tak terima. Kamu sok suci," lanjutnya setelah sekian detik mengumpulkan kalimat menyemprotku.
    "Itu nyogok, Bu, masa ia harga diri kita ditukar beras 10 kg?"
    "Daripada tidak makan, Pak."
     Aku terdiam. Dilema melanda. Suara hati bergejolak untuk tetap bertahan pada pendirian: tidak terima suap untuk pemilu! Diamku terusik saat suara ketukan pintu. Istriku bergegas.
    "Oh, Pak Yan, duduk, Pak," kataku menyapa.
     "Dari Bang Rido," kata Pak Yan.
     Aku pandangi amplop itu. Darahku berdesir. Nafasku naik turun. Aku ingat kata istriku tentang beras yang tinggal sedikit, bisikan anakku tentang uang sekolah yang nunggak. Pendirianku rubuh seketika.
     "Aku tak terima suap, Pak," kataku mantap.
     Pak Yan tersenyum,"Ya aku tahu," jawabnya.
     "Ini nota utangmu di kios Bang Rido. Lunasi tanggal 14 Februari, itu pesan Bang Rido," jelas Pak Yan.
     "Aku pamit," kata Pak Yan.
    Â
13 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H