Pikiranku sedikit terganggu, saat kudengar gosip miring tentangku dan Mbak Lila, janda sebelah rumah. Tentu ini sangat berbahaya, mengingat citraku di masyarakat. Apalagi bapakku seorang terhormat. Bayangkan, mau ditaruh di mana mukaku, apalagi bapakku!
   "Jangan ceroboh, Nak! Mendingan kau dekatin Silvia, anak sahabatku," kata ayah sore itu.
   "Pak, ganteng gini kok sama janda. Tak logis, Pak," jawabku santai.
   "Bener, Di?" bapak menatapku.
   "Pak, apa aku pernah berbohong?"
   "Em, ya. Itu milik siapa?" tanya bapak sambil menunjuk sapu tangan di dekat meja tivi.
   "Ya, em, anu, Pak, punyaku. Ya punyaku."
   "Bener, Di?"
    Aku mengangguk.
    "Bukannya milik Lila?" kata bapak.
    "Aku tahu itu miliknya, sering ia bawa dulu," lanjut bapak.
    "Kok Bapak tahu?" tanyaku heran.
    "Ya, oh, Bapak cuma nebak," bapak gelagapan.
    "Jadi?" aku tersedak.
   "Bujan gitu, Di. Cuma sekali makan di restoran Pak David."
    Aku menatap bapak.  Dadaku sesak. Aku mulai menangis. Bapak hanya diam. Aku berdiri menghampirinya,"Aku setuju, Pak, sapu tangan itu dititip Mbak Lila untuk Bapak," bisikku.
 Â
2 Februari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H