Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fiksi Mini: Gebukan Takdir

21 Januari 2024   18:38 Diperbarui: 21 Januari 2024   18:39 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Gebukan Takdir

          Hidupku ketimpa sial hampir tiap saat. Kemana pun aku melangkah, sial mesti mengekor. Aku menganggap kesialan itu bayangan diriku. Selalu ada. Ada selalu ke mana pun kupergi! Pernah sekali aku berkenalan dengan perempuan. Kami ngobrol santai di taman. Sebelumnya sudah saling kenal via whatss app.
       "Pa...pa...," panggil seorang anak kecil umur 3 tahunan.
        Sontak aku ditampar gebetanku. Dikira aku lelaki hidung belang. Selepas gebetanku pergi, aku menimangnya. Seba ia bayi gemes yang entah di mana orang tuanya. Aku menoleh kiri kanan mencari orang tuanya. Eh, dari belakang aku digebuk. Beberapa polisi meringkusku dengan dugaan penculikan! Parah kan?
        "Dulu, Ayah seperti kamu," ucap ayah.
        "Ketiban sial terus, Yah?" tanyaku.
         "Ya," jawab ayah.
         Lalu ayah mulai bercerita tentang perjalanannya. Hingga pada menit tertentu, ayah menatapku tajam. Ayah seolah siap menerkam bagai srigala. Matanya melotot tajam.
        "Aku diburu preman suruhan Kakekmu, ayah dari Ibumu, gara-gara kehadiranmu," cerita ayah dengan wajah garang.
         "Kamu sial sejak dalam kandungan," lanjutnya.
         "Jangan dibahas lagi, Yah," ibu mencairkan suasana.
         "Ayahku sudah maafkan Ayah kan?" kata ibu.
          Ayah terdiam. Ia mengangguk. Selama ini silaturahmi dengan kakek terjalin. Ayah dan ibu menganggap semua sudah baik-baik saja seiring waktu berjalan.
         "Yah, ponselnya berdering," kata ibu.
         Ayah menjawab telepon. Ekspresinya berubah. Ayah dipecat tanpa sebab.
         "Sebelumnya, Pak Anton ke sini," kata dari seberang.
          Ayah menatap ibu.
         "Ayahmu ke ke kantor, hari ini aku mendapat informasi pemecatanku," kata ayah parau.
          Bel rumah berdering. Salah satu suruhan kantor membawa amplop. Ayah bergeming.

16 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun