Aku terpesona melihatnya hari ini. Seperti kebanyakan orang yang jatuh cinta, aku deg-degan. Gejolak serasa tak tertahan. Hendak berkenalan, itu mustahil. Aku bisa jadi mendadak gagap di depannya. Yang kulakukan hanya mencuri pandang, sebelum nyaliku besar untuk mencuri hatinya. Semoga saja, hidupnya pun bisa kucuri. Akan kusatukan dengan hidupku. Tentu ini menakjubkan. Sejam berlalu begitu cepat. Ketika yang lain sibuk beraktivitas, aku habiskan enam puluh menit itu mencuri pandang.
"Semoga ini takdirku," gumamku tanpa melepas pandangan.
"Kalau jatuh cinta, cepetan disampaikan, keburu diambil orang," kata temanku saat itu.
"Nyaliku menciut," jawabku.
"Ah, dasar, banci!" kata temanku.
"Tidak juga, hanya tak bernyali," tegasku.
Aku cemburu dengan temanku ini. Orangnya biasa saja, bukan anak kuliahan, sudah punya gebetan. Aku selalu pikir, kalau ia bisa menarik hati perempuan, apalagi aku?
Apalagi zaman now identik dengan bibit, bebet, dan bobot, seperti feodalisme Jawa. Dari segi itu, aku tidak punya hambatan. Bapak ibu PNS, aku lulus sarjana. Soal rupa, ah, Â itu tergantung cara pandang. Aku memang tidak seperti Opa Korea, wajahku layaknya orang Indo pada umumnya. Kendalaku ya itu, nyaliku kecil sekedar mengulur tangan berkenalan.
"Aku pamit bentar," kata temanku.
Aku mengangguk tanpa menoleh. Gigi gingsul itu merenggut pikiranku. Aku sangat terpesona olehnya. Aku benar-benar jatuh cinta.
Entah berapa menit berlalu saat temanku, Cen, pamit, saat gadis yang meruntuhkan imanku menghampiri. Aku kikut dibuatnya. Ibarat mendapat durian runtuh, ia mengulurkan tangan memperkenalkan diri.